Kamis, 17 September 2009

LIBAS ONDOFOLO (kepala adat asli), PENGHALANG EKSPLOTASI SDA PAPUA.

GARA-GARA
TAHAN
HAK ULAYAT
ONDOFOLO (Kepala adat) DAN KEPALA KAMPUNG NENDALI DI
TAHAN
POLDA PAPUA.

Oleh: Hendrik Palo

(pengalaman belajar, untuk investasi yang menguntung bagi masyarakat adat, bukan uang belas kasihan dari pemerintah yang dapat membangun ekonomi masyarakat adat. Kemapanan ekonomi akan terjadi, ketika masyarakat ber investasi bersama pemodal untuk pemanfaatan SDA yang merupakan hak milik mereka )

Jauh sebelum konsep negara kerajaan atau kesultanan dikenal diseluruh pelosok Nusantara ini, telah hidup dan berkembang kesatuan-kesatuan sosial politik yang berdaulat.Mereka Secara otonom mengatur dan mengurus dirinya (self determination) serta mengelola tanah dan sumberdaya alam lainnya (land tenure). Komunitas komunitas ini telah mengembangkan aturan-aturan dan juga sistem kelambagaan untuk menjaga keseimbangan antar warga didalam komunitas tersebut dan juga antar komunitas tersebut dengan alam disekitarnya. Kelompok ini secara International dikenal dengan sebutan Indegenous people.

Kampung Nendali , terdapat di Distrik Sentani Timur Kabupaten Jayapura Propinsi Papua. Masyarakat adat nya, merupakan salah satu komunitas masyarakat adat Papua yang menguasai dan berdomisili pada suatu wilayah adat yang disebut Nendali Yo, yang di sebut Nendali Yo tidak terbatas hanya pada tempat pemukiman tetapi juga hutan, dan kawasan-kawasan kelola mereka.

Pada bulan fabruari sampai dengan Julli 2009 masyarakat adat kampung Nendali menghadapi sebuah masalah yang cukup rumit, karena menyebabkan dua pimpinan tinggi kampungnya yaitu Ondolo dan Kepala Kampung menjadi piaraan POLDA Papua.

Tepatnya hari sabtu tanggal 11 Mei 2009, terjadi pemalangan lokasi penambangan galian C di Yabawi Kampung Nendali Distrik Sentani Timur. Lokasi penambangan galian C yang telah 23 tahun dikelola oleh CV Bintang Mas, PT Skyline kurnia, dan CV Buma kumawa ditutup oleh masyarakat Adat Nendali, mengakibatkan aktifitas ketiga perusahaan tersebut total terhenti. Sementara proses penyelesaian konflik berjalan pemerintah kabupaten jayapura, membuat surat ijin bernomor 001/PTSK/III/2009. Tanggal 2 maret 2009 perihal ijin penggalian golongan C selama 30 hari terhitung sejak 20 April 2009 kepada CV Bintang Mas. Kebijakan tersebut meningkatkan amarah masyarakt adat Nendali, sehingga beberapa petugas Bintang Mas diancam oleh masyarakat adat. Tetapi menurut asisten II Sekda kabupaten Jayapura, pada selasa 12 Mei 2009, bahwa pemerintah kabupaten Jayapura tidak memberikan ijin apapun kepada CV Bintang Mas, yang ada hanya persetujuan pengangkutan material yang telah di timbun, katanya itupun dibeli dari masyarakat dan sudah dikoordinasikan di Polres Jayapura. pengangkutan material tersisa hal ini mengudang adanya protes keras dari masyarakat adat. Akibatnya Ondofolo Rukhunaei Wallinaei Hokhoi Tembu Nendali dan kepala kampung Nendali di ringkus dalam tahanan POLDA Papua.

Yaba-wi Dan Asal Usul Bintang Mas
Masyarakat adat kampung Nendali memiliki nama-nama adapt (local name) untuk berbagai benda di wilayahnya adatnya, nama local sungai disebut wi, dan yabah sebutan untuk lembah , yabah juga digunakan untuk menyebut areal-areal dangkal di danau Sentani . tempat beroperasi tiga perusahaan ini disebut Yabawi, artinya sungai yang berada pada sebuah lembah. Disini terdapat areal tambang galian C yang cukup luas. Yang dahulu dimanfaatkan oleh masyarakat setempat dengan alat tradisional, terkenal dengan sebutan tapisan.

Tambang galian C Yang terdapat diareal ini adalah harta karun milik masyarakat adat yang tersembunyi , masyarakat adat yang menjalani kehidupan sebagai masyarakat sub system, tidak menilai tambang C sebagai objeck harta karun, dalam pandangan mereka bahwa keberadaan alam termasuk tambang galian C bukan sesuatu yang berada diluar mereka, masyarakat adat adalah golongan manusia yang menyatu dengan alam, sehingga mereka tidak memberikan penilaiaan-penilaian ekonomis terhadap SDA seperti orang lain di luar mereka. Bagi mereka (masyarakat adat ) makan hari ini telah cukup.

Dalam pandangan perusahaan bahwa karikil dan batuan pasir dalam golongan tambang galian C di areal ini adalah uang. Kesadaran bahwa galian C adalah uang tidak di miliki oleh masyarakat adat pemilik ulayat. Walaupun disana pernah terjadi aktifitas penjualan batu dan pasir oleh masyarakat adat. Untuk memuluskan niatnya hendak menguasai SDA galian C ini, perusahaan SK memulai dengan memanfaatkan 2 tokoh adat yang lebih berpengaruh di Kampung Nendali. Setelah dua tokoh terkoptasi dengan niat perusahaan SK , perusahaan melanjutkan taktik lainnya hingga tanah ulayat yang merupakan pusaka leluhur suku bangsa Nendali berpindah haknya ke Perusahaan SK, yang terjadi sebenarnya adalah perusahaan SK menguasai dan merampas UANG milik rakyat miskin.

Sebab-Sebab Konflik
Menurut beberapa pemuda adat dari kampung Nendali, bahwa selama beroperasi di atas tanah adat kami perusahaan ini tidak pernah memberikan kompensasi dalam bentuk apapun kepada masyarakat adat pemilik ulayat, tidak hanya itu, aktifitas kami dalam memanfaatkan pasir dan kerikil di wilayah adat kami yang telah dikerjakan sejak tahun 600-an, dilarang keras oleh perusahaan, untuk menghindari adanya masyarakat adat di wilayah ini, perusahan menggunakan Brimob, disini terdapat Pos Brimob kata mereka .

Masalah konpensasi/gantirugi/ dan sebagainya adalah kewajiban pihak perusahaan, tidak rasional ketika menguras SDA atau merampas uang miliki orang lain pihak penguras tidak memberikan konpensasi. Memang terdapat kelemahan-kelemahan pada masyarakat ketika lobi awal, yang seharusnya konpensasi dan hal-hal lainnya menjadi kesepakatan antara perusahaan dan pemilik di awal kontrak pertama, tetapi hal ini tidak terlaksana. Sebaliknya perusahaan justru memanfaatkan kelemahan masyarakat, sehingga tidak mereaslisasikan konpensasi sebagaimana layaknya hingga saat ini dan akhirnya pecah konflik seperti ini.

Dapat di bayangkan, betapa sadis dan brutalnya tindakan perusahaan, hak –hak masyarakat adat di kampung Nendali yang merupakan warisan pusaka ini di rebut oleh pihak perusahaan, setelah menguasai SDA galian C , perusahaan juga melarang aktifitas masyarakat adat diatas tanah ulayatnya sendiri.


Pemalangan aktifitas Bintang Mas
Pemalangan atas aktifitas sebuah perusahaan merupakan tindakan nyata masyarakat adat atas keberadaan sebuah perusahaan untuk penyelesaian masalah –masalah yang merugikan mereka. Palang biasanya terjadi ketika perusahaan tidak lagi memperhatikan hak-hak masyarakata adat. Walaupun banyak pihak termasuk pemerintah tidak setuju dengan palang-memalang tersebut, tetapi hal ini adalah upaya terakhir, karena segala upaya telah tersalurkan dengan sopan, tertib , teratur dan ber-adat , tetapi tidak di akomodir secara baik oleh pemerintah dan perusahaan, maka langkah tegasnya adalah Palang.

Agar tidak terjadi palang memalang sebagaimana harapan semua pihak, maka pihak-pihak yang bermasalah dengan masyarakat adat, harus memimiliki inisiatif untuk menyelesaikan masalah, ketika menerima surat masuk dari masyarakat adat harus di respon dengan baik. Dari beberapa pengalaman, masyarakat telah memasukan surat, tetapi tidak mendapat pelayanan yang baik, bahkan tidak di tanggapi sama sekali.


Pembelajaran Bagi Masyarakat Adat
Pengalaman adalah guru yang baik, dengan adanya sengketa hak ulayat antara perusahaan SK , dengan masyarakat pemiliki ulayat. Secara internal di kampung, masyarakat adat Kampung Nendali belum memiliki organisasi asli yang kuat, kekuatan organisasi asli bukan hanya lengkapnya struktur organisasi tetapi juga adanya aturan-aturan kampung yang menjadi payung hukum di kampung. Di kampung Nendali juga terdapat kepala-kepala suku yang bukan orang asli atau dari keturunan yang sama, tetapi hal ini tidak bermasalh jika kampung memiliki sebuah aturan kampung. Selain organisasi asli sebagaimana pelaksana aturan kampung, kumpulan-kumpulan pemuda adat, perempuan adat, dan lainnya dapat membentuk organiasi-organsasi adat untuk mengontrol realisasi aturan-aturan adat.

Bagi masyarakat adat Papua pembelajaran pentinyanya adalah, setiap masalah yang terjadi dilingkungan kampung/suku harus dievaluasi untuk melihat kelemahan-kelamahan baik pada organisasi asli kampung atau aturan-aturan adat dan aplikasinya, karena setiap masalah yang terjadi pasti ada penyebabnya. Secara khusus menyangkut aturan-aturan hukum kampung, setiap kampung perlu mengavaluasi kekuatan dan kelemahan norma-norma adat yang di anut selama ini, untuk melihat relevansinya dengan perkembangan sekarang. Prinsipnya SDA harus memberikan manfaat yang lebih kepada pemilik ulayat.


Investasi Bebas Konflik.
Bagi calon Investor, kasus kampung Nendali memberikan inspirasi positif , artinya bahwa perlu adanya perbaikan-perbaikan dari kehadiran Investasi. Aspek sosial adalah faktor penting untuk diperhitungkan dalam setiap kemauan investasi. Dari berbagai pengalaman menunjukan bahwa konflik dapat terjadi ketika hak-hak masyarakat adat tidak di perhatikan, perusahaan dan Negara tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat adat untuk menyatakan menolak atau setuju dengan aktifitas yang akan di kerjakan. Investasi tanpa konflik, merupakan target yang harus diwujudkan saat ini, secara khusus di Papua dengan pemberlakukaan UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi khusus bagi Papua, terutama pada pasal 38 dan 43, mengisyaratkan adanya perundingan-perundingan antara perusahaan dan Masyararakat pemilik ulayat, untuk menemukan konsesnsus bersama untuk pengamanan Investasi.

FPIC (Free, Prior and Informed Consent) telah berkembang sebagai prinsip utama dalam jurisprudensi international berhubungan dengan masyarakat adat dan telah diterima secara luas dalam kebijakan sektor swasta atas tanggung jawab sosial, perusahaan dalam sektor kehutanan, perkebunan pertambangan dll. FPIC memaknai adanya perundingan perundingan tanpa paksaan antara investor dan masyarakat adat atau antara pemerintah dan masyarakat adat/masyarakat hukum adat, untuk sebuah aktifitas di wilayah hukum masyarakat adat. Untuk meminimalisir dampak investasi terhadp masyarakat adat maka pada tahap prakondisi dibutuhkan proses penerapan Prinsip FPIC. Kasus Kampung Nendali menjadi pembelajaran bahwa pendekatan yang selama ini di gunakan adalah pendekatan yang tidak tepat di jaman sekarang. Pendekatan yang sesuai dengan prinsip FPIC adalah masyarakat adat harus diberikan hak seluas-luasnya untuk menyatakan Menerima atau Menolak tawaran-tawaran Investasi. Keputusan yang di ambil adalah keptusan yang tidak di politisir oleh pihak lain.


Pemerintah, Investor, dan Kemandirian Masyarakat Adat.
Tambang galian C di Kampung Nendali jelas-jelas tidak memberikan manfaat yang berarti bagi masyarakat adat pemilik ulayat. Awal Keberadaan perusahaan dinilai semrawut dan banyak manipulasi. Konflik yang terjadi merupakan peluang bagi pemerintah untuk mendorong adanya Investasi yang mengamodir kepentingan pemilik ulayat. Pemerintah adalah Perwakilan rakyat yang dapat menyertakan kepentingan rakyat adat bersama investasi.

Memandirikan dan mensejahterakan masyarakat adat, yang merupakan visi pemerintah, visi tersebut adala pernyataan dari perjuangan pemerintah untuk mengawinkan Investor kaya dengan Masyarakat adat Pemilik ulayat tetapi miskin. Selama Investor berjalam sendiri dan masyarakat ke arah yang lain maka kemandirian yang di kumandang hanyalah janji omong kosong. Tetapi janji akan terwujud apabila terjadi penyatuan antara masyarakat adat pemilik tanah, dan Investor pemilik Modal. Disinilah peran strategis pemerintah....

Akhirnya Ondofolo Nendali dan kepala kampung di bebaskan dari tahanan Polda Papua, dengan pernyataan harus menjamin material sisa milik perusahaan terangkut habis untuk mengerjakan proyek pemerintah provinsi papua sampai bulan Desember 2009.

Hendrik Palo

Tidak ada komentar: