Sabtu, 24 April 2010

PERADILAN ADAT KAMPUNG NETAR

PERADILAN ADAT
KAMPUNG NETAR DI PAPUA
MEMBUKTIKAN BAHWA TATANAN ADAT TIDAK STATIS


Terbukti Menjual Tanah Adat ,
3 (Tiga) Kepala Suku (Koselo) di Copot dari Jabatannya.

Oleh: Hendrik Palo
Peristiwa bersejarah ini terjadi pada tanggal 5 Maret 2010 di halaman adat (Onggohou yau ) Kampung Netar Distrik Sentani Timur Kabupaten Jayapura Provinsi Papua, kampung Netar adalah sala satu kampung daru 24 kampung yang dimiliki oleh Suku Sentani. 3 orang kepala suku langsung di copot jabatan adatnya oleh Ondofolo Kampung Netar karena secara nyata-nyata terbukti menjual tanah adat milik seluruh masyarakat Kampung Netar. Mereka yang di copot jabatanya, di antaranya ada yang sempat meneteskan air mata, dan ada yang menerima dengan lapang dada…

Kampung Netar/Nendali , adalah sebuah kampung di lingkungan Suku Sentani, kampung ini memiliki hubungan dengan kampung Yoboi dan kampung Baborongko di wilayah Sentani timur. Hubungan ini adalah hubungan kakak beradik, Dahulu mereka menempati kampung Abar, selanjunya hidup di pulau Plolio dan selanjunya terbagi ke kampung Yoboi dan kampung Baborongko, Kakak tertua dari keluarga ini yang membentuk kampung Netar saat ini. Dalam administrasi pemerintahan wilayah ini disebut Kampung Nendali, berada di distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura - Provinsi Papua…

Tutur Ondofolo ketika Perdilan Adat,; tanah, hutan dan hutan sagu (Kani-kela, Fiung-fikela ) dan kampung yang kita tempati ini di peroleh melalui pengorbanan yang cukup besar oleh leluhur, dengan peperangan yang luar biasa mereka mendapatkan wilayah ini dan mereka membentuk kampung ( Yo), setelah membentuk kampung mereka menempatkan Kepala suku (Koselo ) dan membagikan tanah-tanah adat kepada mereka. (You mokhogoke, na-roo Hamikoke, Kani waheimikoke). Pengorbanan ini hanya untuk memelihara kita, dan hingga saat ini kita ada dan menjalani kehidupan diatas tanah di kampung ini.
Beberapa orang diantara kita telah menjual tanah kepada pihak lain, awalnya saya menilai mereka adalah orang-orang yang baik, karena dalam setiap pertemuan adat mereka selalu berbicara dan bahkan yang mengatur jalannya komunikasi dalam pertemuan, sering kali pertemuan tersebut merumuskan pernyataan-pernyataan yang keras bagi masyarakat untuk tidak menjual tanah, tetapi sebaliknya mereka ini yang justru menjadi oknum utama dalam jual menjual tanah. Saking percayanya saya kepada mereka, sehingga banyak tanah yang telah mereka lepaskan kepada Bintang Mas. Tetapi semua ini telah saya tebus dengan menjadi tahanan di Polda Papua, ajakan saya agar kita kembali dan tidak lagi menjual tanah masih tidak di perhatikan oleh mereka, bahkan saya datangi rumah mereka untuk menasihati dan menegur tetapi tetap saja tidak di gubris, Pada hari ini saya nyatakan mereka di copot dari jabatannya dan di ganti oleh orang-orang yang saya sebutkan ini.

Peristiwa ini di nilai sebagai peristiwa bersejarah karena, telah menjadi rahasia umum bahwa jabatan –jabatan adat di lingkungan suku Sentani adalah jabatan turun temurun. Ketika meninggal bapaknya maka jabatan tersebut akan diisi atau di gantikan oleh anaknya yang tertua. Tidak kepada orang lain. Tetapi sebuah sejarah terukir di kampung Netar, Kepala suku di ganti oleh orang lain.

Ondofolo Netar atas nama. Philips Eba Walli, memberikan komentar bahwa, tanah dan hutan (kani kela) harus di lindungi demi kehidupan generasi mendatang, ketika tanah dan hutan terjual, kita telah menyengsarakan generasi kampung ini secara dini dan perlahan. Generasi ini akan terpinggirkan dan menjadi komunitas miskin di jalanan. Kekayaan kita saat ini adalah tanah dan hutan, untuk kehidupan kita dan kehidupan generasi yang akan datang. Kepala Suku menjadi penjual tanah..bagaimana dengan kehidupan rakyatnya pada tahun-tahun , mereka akan hidup dimana??.

Dalam kasus ini banyak orang memberikan penilaian, ada yang mengatakan bahwa keputusan tersebut adalah keputusan yang tidak menghargai tatanan adat, tetapi beberapa pertimbangan yang di buat oleh Ondofolo yaitu:

Pertama , Jika menghargai 1 orang ( kepala suku) , maka ribuan masyarakat dari kampung ini akan menjadi korban, sebagai masyarakat yang tidak mempunyai tanah dan ruang sebagai tempat hidup, kedua, untuk mengurus dan pengambilan kembali tanah-tanah adat, tidak mungkin kita menjadi satu tiem, karena telah terbukti bahwa pasca rapat mereka tetap menjual tanah.

Hukum dan kebiasaan adat tidak statis, tetapi dapat mengalami perubahan sewaktu-waktu dan itulah yang terjadi dengan masyarakat adat di kampung Netar. Pengalaman di kampung Netar ini dapat menjadi bahan belajar bagi komunitas adat lainnya di tanah Papua. Peradilan adat di kampung-kampung harus di tegakan untuk mengamankan tanah-tanah adat. Jabatan yang di berikan adalah jabatan adat atau jabatan milik kampung, jika terdapat pejabat adat menjual tanah artinya bahwa yang bersangkutan telah membunuh masyarakatnya sendiri maka mau tidak mau jabatan adatnya harus di copot karena jabatan tersebut adalah milik rakyat dan miliki kampung. Dengan mencopot jabatannya, maka segalahhak dan kewajibannya termasuk tanah telah berpindah fungsi pengelolaannya kepada pejabat baru, dan status yang bersangkutan menjadi masyarakat biasa. Hendrik Palo

Tidak ada komentar: