BUKAN SLOGAN DAN KONSEPTUAL BELAKA
PENGAKUAN HAK-HAK MASYARAKAT ADAT PAPUA ATAS
HUTAN CAGAR ALAM CYCLOP
Oleh : Hendrik Palo
Telah menjadi hukum yang di junjung di Negara ini bagi Masyarakat adat Papua, bahwa hak-hak Masyarakat adat di hormati, dan di akui sebatas slogan, konseptual, dan catatan-catatan. kalau diwujudkan secara nyata maka jelas tidak ada orang miskin diatas tanah Papua , bagaimana dengan Konservasi Cagar Alam Cyclop, apakah masyarakat adat mengalami nasib yang sama juga.
Ondoafi (Pemimpin Adat) adalah pelindung dan pemelihara rakyat, merupakan mandat social bagi seorang ondofolo/ondoafi. Setelah diangkat dan di lantik pada jabatan ondofolo, maka tugas pokok dan fungsi yang di emban adalah melindungi rakyatnya. Hutan dan flora fauna di dalamnya merupakan SDA milik rakyat, mendapat perlindungan dari ondofolo agar di manfaatkan oleh masyarakatnya untuk kehidupan sehari-hari dan untuk kebutuhan lainnya. Hak-hak masyarakat adat Sekitar Cyclop mendapat pengakuan di Hotel Aston oleh pemerintah provinsi Papua. 16 ondoafi sekitar pegunungan cyclop, di hadirkan untuk menanda tangani pernyataan kerja sama untuk konservasi cagar alam cyclop.
Cycloop yang telah menjadi pilot proyek REDD di Papua sejak 2008 -2012, hingga saat ini informasi ini belum di ketahui oleh masyarakat pemilik ulayat, hutan pegunungan Cyclop adalah murni hutan adat, artinya bahwa kental terdapat hak-hak masyarakat adat disana, bagaimana hak-hak masyarakat ini di akui, pertemuan 16 Ondoafi dengan pemerintah Provinsi Papua adalah bentuk pengakuan pemerintah atas hak-hak masyarakat adat atas SDA hutan di pegunungan Cyclop.
Khusus tentang kawasan hutan Cycloop, 16 ondofolo/ondoafi telah menghadiri undangan pemerintah Provinsi Papua untuk Workshoop Cagar alam pegunungan Cyclop di hotel Aston jayapura . kalau ondofolo dapat di kumpulkan, pada tingkat kebijakan kenyataan ini adalah sebuah langkah maju, tetapi bagaimana proses tersebut pada tingkat masyarakat di kampungnya, diskusi dan kesepakatan ondofolo dan pemerintah, seorang ondofolo tidak dapat mensosialisasikan kepada rakyatnya karena tidak sesuai dengan struktur organisasi adat di kampungnya, jelas bahwa informasi tersebut terbatas hanya pada ondofolo, dampaknya masyarakat tidak akan pernah mengetahui informasi tersebut, jika rakyat tidak tersentuh oleh informasi maka hutan akan terus mengalami deforestasi dan degradasi akibat aktifitas warga kampung, pemerintah provinsi Papua memiliki tanggung jawab untuk mensosialisasikan komitmennya dengan para ondofolo tersebut kepada masyarakat dari 16 kampung, sehingga antara pimpinan dan warga kampung terbangun komitmen bersama yang solid untuk melindungi hutan cagar alam cyclop.
Penyelamatan cagar alam Cyclop, Gubernur Papua dan jajarannya memiliki komitmen yang sungguh untuk issue ini, kawasan hutan Cycloop sebagai sumber air bagi kehidupan manusia adalah pendorong utama bagi pemerintah untuk selamatkan kawasan ini , walaupun terdapat kepentingan global didalamnya tentang tanggungan Indonesia untuk penurunan 26% emisi karbon dunia, dengan mengurangi Deforestasi dan Degradasi Hutan.
sangat di butuhkan dukungan rakyat untuk penyelamatan cyclop, tetapi dukungan tersebut tidak dapat datang secara spontanitas tanpa sosialisasi dan pendekatan, dukungan yang bagaimana, dimana dan kapan adalah issu-ssu yang penting di bahas secara langsung di kampung-kampung dengan masyarakat adat, dukungan dan peran serta masyarakat adat akan nampak kalau rencana dan kebijakan ini tersosialisasi secara baik.
Terdapat perbedaan penyampaian issue ini , antara Dunia Internatioanl, Dephut dan Pemerintah Provinis Papua ( Intansi terkait,) dalam beberapa kesempatan pemerintah selalu mengedepankan issue penyelamatan cyclop karena cyclop adalah sumber air minum, pada dunia international Cyclop harus di selamatkan karena layak untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Mana yang sebenarnya? Satu objeck tetapi dalam pandangan yang berbeda. Tetapi sama-sama pentingnya, walaupun banyak makna di dalamnya.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Papua adalah organisasi representative masyarakat adat di Negara Indonesia, kewajiban AMAN adalah melaksanakan Amanat Konggres Masyarakat Adat ke III Tahun 2007 di Pontianak, dengan tetap memperhatikan AD/ART organisasi ini. Pada issu REDD dan masyarakat adat, AMAN perlu memastikan hak-hak adat di hormati dan di hargai oleh pemerintah. Penghormatan tersebut tidak semata -mata menundukan kepala, atau hanya tertulis saja dalam kertas seperti penghargaan yang di kembangkan selama ini, tetapi masyarakat dapat menghasilkan uang tunai karena Konpensasi REDD. Tugas AMAN dalam issue REDD sebatas itu.
Kewenangan tentang di hormatinya hak-hak masyaraat adat dalam mekanisme REDD ini berada pada pemerintah, AMAN tidak bisa memaksakan jika pemerintah masih menutup diri untuk hal ini, tetapi sebagai organisasinya masyarakat adat se-Nusantara, AMAN memiliki kewajiban menyuarakan tentang adanya hak-hak masyarakat adat atas Hutan yang perlu mendapat perhatian pemerintah. Bukan hanya slogan, atau tulisan dalam lembar-lembar kesepakatan, tetapi penghargaan hak-hak masyarakat dengan memberikan uang tunai langsung kepada masyarakat adat.
Hendrik Palo
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Wilayah Papua
Apabila komunitas dunia membiarkan orang Papua berkembang sesuai keberadaanya, maka Papua akan sangat bermanfaat bagi Dunia ini.
Selasa, 07 September 2010
REDD DI PAPUA
TIDAK JELAS INFORMASI REDD
BAGI MASYARAKAT ADAT PAPUA
Dari Konsolidasi Masyarakat Adat Pribumi Papua
BPPTP Papua, tanggal 4-6 Agustus 2010
Oleh : Hendrik Palo
Saya di undang mewakili Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) wilayah Papua , sebagai pembawa materi pada konsolidasi tersebut dengan topic Penyiapan Masyarakat adat dalam menghadapi mekanisme REDD, saya menilai bahwa ini adalah kesempatan baik untuk menjelaskan REDD kepada Masyarakat Pribumi Tanah Papua. Dan juga mendapat kesempatan untuk mengetahui secara langsung bagaimana pemahaman masyarakat adat Papua tentang REDD, juga mau mendengarkan bagaimana narasumber lainya menyampaikan tentang REDD.
Edison Yaro serai ( Komunitas Yakari)
Dari presentasi AMAN yang di sampaikan nara sumber tadi, dimana Issu REDD telah bergulir cukup lama, dan lebih rameh di tahun 2007 setelah konverensi UNCCC di Bali, Pemerintah Papua nampak lebih antusias dan kira-kira 70% telah siap implementasikan REDD Papua. tetapi saya sendiri baru mengetahui REDD setelah penyampaian tadi. Saya Kuatir masyarakat adat akan mati , karena banyak hal yang di sembunyikan dari masyarakat adat pemilik tanah ini. PPMA harus meningkatkan pembinaan dan latihan kepada LMA, DPMA,dan DAS. Masyarakat adat harus memiliki kelembagaan yang jelas, agar mempermudah penyelenggaraan proses-proses belajar dan penguatan bagi masyarakat adat. Banyak ondofolo yang di undang, atau di bawah keluar untuk memperlancar kemauan-kemauan segelintir orang, berbicara tentang kampung, tempatnya di para-para adat kampung , ini harus menjadi perhatian masyarakat adat .Adat harus menekan pemerintah kabupaten untuk alokasi dana bagi penguatan masyarakat adat, melalui pelatihan-pelatihan kita mendapat pengetahuan tentang REDD . kita terlambat sekali.
Anton Maniamboi ( Komunitas Waropen)
Di tanah Yapen dan Waropen, berbicara REDD pasti berhubungan dengan kalawai tikam ikan ( sumpit), kenapa? REDD adalah sebutan sehari-hari disana untuk menyebutkan Perairan terumbu karang. Artinya juga bahwa kami tidak tau infomasi ini padahal informasi ini penting bagi kami masyarakat adat, kenapa di sembunyikan??.
Hubungannya dengan REDD , bagaimana jalan keluar agar peta masyarakat adat menjadi kuat dan dapat di pergunakan.bentuk pengakuan pemerintah terhadap hak ulayat masyarakat adat seperti apa?
Charles Wouw ( Komunitas Kemtuik)Memang terasa pengaruh pemanasan global dimana –mana , terdapat tanaman berubah warna, tanaman bulu misalnya, pada musim kemarau tahun-tahun sebelumnya daunya tetap hijau, tetapi sekarang hanya dua hari kemarau daun-dauannya telah menguning. Demikian tanaman lainnya.
Masyarakat adat harus berbuat apa dengan kondisi iklim global seperti ini, karena yang berada langsung dengan hutan dan tumbuhan adalah kami masyarakat adat, apa yang harus kami lakukan??,
Dana Konpensasi REDD Norwegia ini kamana??, sebaiknya di turunkan langsung kekampung-kampung agar semua rakyat di gerakan untuk menyelamatkan bumi dari pemanasan Global ini. kenapa pemerintah Papua masih tertutup dengan hal ini? ada apa??..penghuni bumi ini adalah kita semua, karena itu rakyat kampung juga memiliki tanggung jawab menyelamatkan bumi.
Welmemina Hanmebi (Jayapura)
Masyarakat membutuhkan organisasi untuk membangun adanya komunikasi REDD dengan Pemerintah, di beberapa tempat belum ada organisasi adat, contohnya di Nafri, disana kita di bawah LMA Port Numbay, tetapi rakyat tidak ada kebebasan , karena LMA PN telah terkoptasi dengan kepentingan politik , banyak masalah-masalah kampung yang tidak di selesaikan.
Vincen (Komunitas Keroom)
Saya selalu kontra dengan pejabat-pejabat adat Keroom, kenapa? 1, Bahwa Para-para adat tidak di fungsikan untuk sebagai tempat mengambil keputusan, banyak keputusan public merupakan hasil negosiasi di luar para-para adat, 2. Tokoh adat berhubungan langsung dengan investor ini bagaimana? Saya mengharapkan proses-proses seperti diatas harus terjadi di para-para adat, karena keputusan public maka harus melibatkan banyak pihak.
Yotam Bairam (DPMA Kemtuik)
Dalam pandangan pemerintah saat ini, bahwa Kampung asli adalah kampung pemukiman, karena kepala kampung yang berkuasa, padahal pada kampung yang sama terdapat perangkat pemerintahan asli (perangkat adat), dan juga perangkat pemerintahan Kampung versi pemeritah. Dalam kondisi seperti ini maka pemerintah kampung asli tidak nampak, yang nampak adalah pemerintah kampung pemukiman. Pada hal ini bukan pemukiman dadakan, ini kampung yang telah ada sejak nenek moyang, Hubungannya dengan REDD, tidak ada hutan Negara di Papua, ini Hutan adat, karena itu pemerintah wajib membangun komunikasi dengan masyarakat adat.
Kesimpulan
Lebih kurang 57 masyarakat adat menghadiri konsolidasi tersebut, mewakili komunitas Wamena, Sorong, Yapen, Serui, Waropen, Jayapura, Kota Jayapura dan Kabupaten Keroom . Pertanyaan penting mereka adalah informasi tentang REDD kenapa tertutup bagi masyarakat adat Papua, masyarakat adat baru mengetahuinya setelah presentasi hari ini. tawaran solusi yang di berikan adalah dalam tahapan persiapan ini pt PPMA harus memperbanyak pelatihan-pelatihan masyarakat adat dengan materi yang berhubungan dengan REDD ini, dan juga membentuk organisasi-organisasi masyarakat adat bagi yang belum memiliki organisasi masyarakat adat.
Terdapat juga peringatan bagi pemimpin adat , agar tidak merespon investor atau pihak lain di luar para-para adat, semua aktifitas untuk memanfaatkan SDA kampung harus melalui proses demokrasi di kampung atau di para-para adat, memang para ondofolo memiliki kelemahan dalam hal ini, karena itu pihak pemerintah atau investor jangan menjadikan kondisi ini sebagai peluang untuk manipulasi dokument legal dll, tetapi harus mengarahkan ondofolo yang bersangkutan untuk kembali ke para-para adat. Karena para-para adat adalah tempat membuat keputusan, terbuka dan langsung bersama masyarakat. Prinsip communal, transparansi dan demokrasi benar-benar terpakai secara utuh.
Termasuk kesepakatan Konservasi antara Ondofolo dan pemerintah Provinsi Papua tentang cagar alam Cyclop. Secara budaya ondolo memiliki hubungan dengan alam, sehingga kesepakatan-kesepakatan yang terbuat seperti itu tidak perlu di buat di Hotel-hotel tetapi sebaiknya di Kampung. Salah satu kampung sekitar Cyclop ini dapat di jadikan basis Cagar Alam Cyclop/ Konsevasi Cyclop. Sebaiknya menggunakan kampung yang intervesinya ke areal gunung Cyclop, atau komunitas yang saat ini banyak memanfaatkan kawasan ini.
Penyelamatan Cyclop membutuhkan perhatian semua elemen termasuk masyarakat adat, karena hutan Cyclop dan segala sesuatu yang ada didalam adalah milik Masyarakat Adat.
REDD bagi masyarakat adat adalah informasi baru, sehingga semua pihak bertanggung jawab menjelaskannya kepada masyarakat adat dengan benar, ironis memang kalau masyarakat adat tidak mengetahui REDD sementara mereka memiliki hak ulayat atas hutan Papua ini. hpl
BAGI MASYARAKAT ADAT PAPUA
Dari Konsolidasi Masyarakat Adat Pribumi Papua
BPPTP Papua, tanggal 4-6 Agustus 2010
Oleh : Hendrik Palo
Saya di undang mewakili Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) wilayah Papua , sebagai pembawa materi pada konsolidasi tersebut dengan topic Penyiapan Masyarakat adat dalam menghadapi mekanisme REDD, saya menilai bahwa ini adalah kesempatan baik untuk menjelaskan REDD kepada Masyarakat Pribumi Tanah Papua. Dan juga mendapat kesempatan untuk mengetahui secara langsung bagaimana pemahaman masyarakat adat Papua tentang REDD, juga mau mendengarkan bagaimana narasumber lainya menyampaikan tentang REDD.
Edison Yaro serai ( Komunitas Yakari)
Dari presentasi AMAN yang di sampaikan nara sumber tadi, dimana Issu REDD telah bergulir cukup lama, dan lebih rameh di tahun 2007 setelah konverensi UNCCC di Bali, Pemerintah Papua nampak lebih antusias dan kira-kira 70% telah siap implementasikan REDD Papua. tetapi saya sendiri baru mengetahui REDD setelah penyampaian tadi. Saya Kuatir masyarakat adat akan mati , karena banyak hal yang di sembunyikan dari masyarakat adat pemilik tanah ini. PPMA harus meningkatkan pembinaan dan latihan kepada LMA, DPMA,dan DAS. Masyarakat adat harus memiliki kelembagaan yang jelas, agar mempermudah penyelenggaraan proses-proses belajar dan penguatan bagi masyarakat adat. Banyak ondofolo yang di undang, atau di bawah keluar untuk memperlancar kemauan-kemauan segelintir orang, berbicara tentang kampung, tempatnya di para-para adat kampung , ini harus menjadi perhatian masyarakat adat .Adat harus menekan pemerintah kabupaten untuk alokasi dana bagi penguatan masyarakat adat, melalui pelatihan-pelatihan kita mendapat pengetahuan tentang REDD . kita terlambat sekali.
Anton Maniamboi ( Komunitas Waropen)
Di tanah Yapen dan Waropen, berbicara REDD pasti berhubungan dengan kalawai tikam ikan ( sumpit), kenapa? REDD adalah sebutan sehari-hari disana untuk menyebutkan Perairan terumbu karang. Artinya juga bahwa kami tidak tau infomasi ini padahal informasi ini penting bagi kami masyarakat adat, kenapa di sembunyikan??.
Hubungannya dengan REDD , bagaimana jalan keluar agar peta masyarakat adat menjadi kuat dan dapat di pergunakan.bentuk pengakuan pemerintah terhadap hak ulayat masyarakat adat seperti apa?
Charles Wouw ( Komunitas Kemtuik)Memang terasa pengaruh pemanasan global dimana –mana , terdapat tanaman berubah warna, tanaman bulu misalnya, pada musim kemarau tahun-tahun sebelumnya daunya tetap hijau, tetapi sekarang hanya dua hari kemarau daun-dauannya telah menguning. Demikian tanaman lainnya.
Masyarakat adat harus berbuat apa dengan kondisi iklim global seperti ini, karena yang berada langsung dengan hutan dan tumbuhan adalah kami masyarakat adat, apa yang harus kami lakukan??,
Dana Konpensasi REDD Norwegia ini kamana??, sebaiknya di turunkan langsung kekampung-kampung agar semua rakyat di gerakan untuk menyelamatkan bumi dari pemanasan Global ini. kenapa pemerintah Papua masih tertutup dengan hal ini? ada apa??..penghuni bumi ini adalah kita semua, karena itu rakyat kampung juga memiliki tanggung jawab menyelamatkan bumi.
Welmemina Hanmebi (Jayapura)
Masyarakat membutuhkan organisasi untuk membangun adanya komunikasi REDD dengan Pemerintah, di beberapa tempat belum ada organisasi adat, contohnya di Nafri, disana kita di bawah LMA Port Numbay, tetapi rakyat tidak ada kebebasan , karena LMA PN telah terkoptasi dengan kepentingan politik , banyak masalah-masalah kampung yang tidak di selesaikan.
Vincen (Komunitas Keroom)
Saya selalu kontra dengan pejabat-pejabat adat Keroom, kenapa? 1, Bahwa Para-para adat tidak di fungsikan untuk sebagai tempat mengambil keputusan, banyak keputusan public merupakan hasil negosiasi di luar para-para adat, 2. Tokoh adat berhubungan langsung dengan investor ini bagaimana? Saya mengharapkan proses-proses seperti diatas harus terjadi di para-para adat, karena keputusan public maka harus melibatkan banyak pihak.
Yotam Bairam (DPMA Kemtuik)
Dalam pandangan pemerintah saat ini, bahwa Kampung asli adalah kampung pemukiman, karena kepala kampung yang berkuasa, padahal pada kampung yang sama terdapat perangkat pemerintahan asli (perangkat adat), dan juga perangkat pemerintahan Kampung versi pemeritah. Dalam kondisi seperti ini maka pemerintah kampung asli tidak nampak, yang nampak adalah pemerintah kampung pemukiman. Pada hal ini bukan pemukiman dadakan, ini kampung yang telah ada sejak nenek moyang, Hubungannya dengan REDD, tidak ada hutan Negara di Papua, ini Hutan adat, karena itu pemerintah wajib membangun komunikasi dengan masyarakat adat.
Kesimpulan
Lebih kurang 57 masyarakat adat menghadiri konsolidasi tersebut, mewakili komunitas Wamena, Sorong, Yapen, Serui, Waropen, Jayapura, Kota Jayapura dan Kabupaten Keroom . Pertanyaan penting mereka adalah informasi tentang REDD kenapa tertutup bagi masyarakat adat Papua, masyarakat adat baru mengetahuinya setelah presentasi hari ini. tawaran solusi yang di berikan adalah dalam tahapan persiapan ini pt PPMA harus memperbanyak pelatihan-pelatihan masyarakat adat dengan materi yang berhubungan dengan REDD ini, dan juga membentuk organisasi-organisasi masyarakat adat bagi yang belum memiliki organisasi masyarakat adat.
Terdapat juga peringatan bagi pemimpin adat , agar tidak merespon investor atau pihak lain di luar para-para adat, semua aktifitas untuk memanfaatkan SDA kampung harus melalui proses demokrasi di kampung atau di para-para adat, memang para ondofolo memiliki kelemahan dalam hal ini, karena itu pihak pemerintah atau investor jangan menjadikan kondisi ini sebagai peluang untuk manipulasi dokument legal dll, tetapi harus mengarahkan ondofolo yang bersangkutan untuk kembali ke para-para adat. Karena para-para adat adalah tempat membuat keputusan, terbuka dan langsung bersama masyarakat. Prinsip communal, transparansi dan demokrasi benar-benar terpakai secara utuh.
Termasuk kesepakatan Konservasi antara Ondofolo dan pemerintah Provinsi Papua tentang cagar alam Cyclop. Secara budaya ondolo memiliki hubungan dengan alam, sehingga kesepakatan-kesepakatan yang terbuat seperti itu tidak perlu di buat di Hotel-hotel tetapi sebaiknya di Kampung. Salah satu kampung sekitar Cyclop ini dapat di jadikan basis Cagar Alam Cyclop/ Konsevasi Cyclop. Sebaiknya menggunakan kampung yang intervesinya ke areal gunung Cyclop, atau komunitas yang saat ini banyak memanfaatkan kawasan ini.
Penyelamatan Cyclop membutuhkan perhatian semua elemen termasuk masyarakat adat, karena hutan Cyclop dan segala sesuatu yang ada didalam adalah milik Masyarakat Adat.
REDD bagi masyarakat adat adalah informasi baru, sehingga semua pihak bertanggung jawab menjelaskannya kepada masyarakat adat dengan benar, ironis memang kalau masyarakat adat tidak mengetahui REDD sementara mereka memiliki hak ulayat atas hutan Papua ini. hpl
TIDAK ADA RUANG HIDUP MASYARAKAT ADAT DALAM RENCANA TATA RUANG PAPUA
BANK DUNIA
KENAPA?? TIDAK ADA WILAYAH HIDUP MASYARAKAT ADAT PAPUA
DALAM RENCANA TATA RUANG WILAYAH
PROVINSI PAPUA.
OLeh : Hendrik Palo
Tata ruang wilayah Papua yang di kerjakan oleh Pemerintah Provinsi Papua dengan Bantuan Dana World Bank , ADB, IMF dan USAID tidak memasukan ruang-ruang hidup masyarakat adat di dalamnya. Hanya terdapat ruang Investasi dan Pembangunan. Bak Dunia perlu menjelaskan ini jika tidak berkepentingan dalam tata ruang wilayah Papua ini.
Wilayah Hidup Masyarakat Adat
Wilayah Hidup masyarakat adat Papua adalah unsur pokok dan utama menjadi Materi tata ruang Papua karena UU otonomi khusus Papua di berikan untuk itu. Ketika ruang-runga hidup masyarakat adat tidak di masukan maka sebenarnya hak-hak ulayat tidak di akui. Apa itu hak ulayat?. Huruf h pasal 1 UU No 21 Tahun 2001, Hak ulayat adalah hak persekutuan yang di punyai oleh masyarakat adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para wargannya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya, sesuai dengan peraturan perudang-undangan. Ini adalah hak hidup atas suatu wilayah dari penduduk asli Papua, ketika wilayah yang menjadi lingkungan hidupnya tidak di masukan dalam RTRW Papua kenapa?
Disini menjadi jelas bahwa bahwa yang di butuhkan dari Papua hanya sumberdaya alamnya,manusia Papua sama sekali tidak di hargai, dengan menghasilkan peta tata ruang yang hanya menjelaskan ruang-ruang investasi, maka tidak ada ruang hidup masyarakat adat, kampung yang selama ini menjadi tempat tinggal dan tempat hidup masyarakat adat menjadi calon lokasi investasi, dalam kondisi ini, keberadaan masyarakat adat di kampungnya akan di nilai illegal, dan penggangu keamanan, akhirnya akan menimbulkan konflik dan pelanggaran HAM.
Rencana Tata Ruang Wilayah Papua, tidak mengandung 3 pilar penting UU 21 Tahun 2001, yaitu prinsip. Pemberdayaan, Perlindungan, Keberpihakan, apa lagi tidak memasukan ruang-ruang hidup masyarakat adat Papua, sesuatu yang mustahil sebenarnya. Dimana letak pemberdayaannya, Perlindungan dan keberpihakan??.
Pemerintah Papua memiliki tanggung jawab untuk menyelamatkan masyarakat adat Papua dari sisi tata ruang ini, jika wilayah-wilayah hidup masyarakat adat tidak di masukan, maka manusia Papua yang telah lama ada di atas tanah ini di Anggap tidak ada oleh BANK DUNIA dan NEGARA INI.Tindakan ini telah keluar dari hak-hak masyarakat adat yang di atur di Konvensi PBB tentang Hak-Hak Masyrakat Adat.
Apa yang harus di perbuat??, pertama, bahwa perdasi RTRW Papua yang telah ada di Biro Hukum Provinsi Papua, sebaiknya di kembalikan kepada tiem perumus untuk memperbaikinya atau memasukan pasal-pasal yang menerangkan adanya wilayah hidup masyarakat adat. Dan harus melalui proses Uji public, Ke dua, Panitia Legislasi di DPRP perlu ke hati hatian untuk perdasi RTRW Papua ini, sebaiknya RTRW Papua di pending pembahasannya sampai dengan dimasukan hak-hak hidup masyarakat adat. Jika RTRW Papua di implementasikan tanpa penjelasan ruang-ruang hidup masyarakat adat, maka sebenarnya orang papua telah di bunuh dengan Hukum yang berlaku di Negara ini, hanya tinggal tindakan teknisnya yang akan di kerjakan oleh TNI dan POLRI , di mana akan terjadi Perburuan binatang orang Papua, secara sadis..bukankah inilah skenario yang di bangun dalam semangat Otsus????.
Negara ini tidak pernah mengasihi orang Papua, apalagi menganggap manusia Papua sebagai warganya?? adalah pertanyaan penting yang harus di jawab. Negara ini hanya membutuhkan Sumberdaya alam Papua, rusaknya lagi semua skenario ini di Bantu Oleh Bank Dunia.......kami orang Papua ingin bebas karena memang di perlakukan sama dengan binatang, tidak manusiawi kalau SDA nya saja di kuras , dan rakyatnya di perlakukan tidak adil..ini yang terbukti dalam RTRWP saat ini, dulu Indonesia mengalami nasib seperti ini makanya berjuang untuk Bebas, itu juga yang kami inginkan....
Hendrik Palo
KENAPA?? TIDAK ADA WILAYAH HIDUP MASYARAKAT ADAT PAPUA
DALAM RENCANA TATA RUANG WILAYAH
PROVINSI PAPUA.
OLeh : Hendrik Palo
Tata ruang wilayah Papua yang di kerjakan oleh Pemerintah Provinsi Papua dengan Bantuan Dana World Bank , ADB, IMF dan USAID tidak memasukan ruang-ruang hidup masyarakat adat di dalamnya. Hanya terdapat ruang Investasi dan Pembangunan. Bak Dunia perlu menjelaskan ini jika tidak berkepentingan dalam tata ruang wilayah Papua ini.
Wilayah Hidup Masyarakat Adat
Wilayah Hidup masyarakat adat Papua adalah unsur pokok dan utama menjadi Materi tata ruang Papua karena UU otonomi khusus Papua di berikan untuk itu. Ketika ruang-runga hidup masyarakat adat tidak di masukan maka sebenarnya hak-hak ulayat tidak di akui. Apa itu hak ulayat?. Huruf h pasal 1 UU No 21 Tahun 2001, Hak ulayat adalah hak persekutuan yang di punyai oleh masyarakat adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para wargannya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya, sesuai dengan peraturan perudang-undangan. Ini adalah hak hidup atas suatu wilayah dari penduduk asli Papua, ketika wilayah yang menjadi lingkungan hidupnya tidak di masukan dalam RTRW Papua kenapa?
Disini menjadi jelas bahwa bahwa yang di butuhkan dari Papua hanya sumberdaya alamnya,manusia Papua sama sekali tidak di hargai, dengan menghasilkan peta tata ruang yang hanya menjelaskan ruang-ruang investasi, maka tidak ada ruang hidup masyarakat adat, kampung yang selama ini menjadi tempat tinggal dan tempat hidup masyarakat adat menjadi calon lokasi investasi, dalam kondisi ini, keberadaan masyarakat adat di kampungnya akan di nilai illegal, dan penggangu keamanan, akhirnya akan menimbulkan konflik dan pelanggaran HAM.
Rencana Tata Ruang Wilayah Papua, tidak mengandung 3 pilar penting UU 21 Tahun 2001, yaitu prinsip. Pemberdayaan, Perlindungan, Keberpihakan, apa lagi tidak memasukan ruang-ruang hidup masyarakat adat Papua, sesuatu yang mustahil sebenarnya. Dimana letak pemberdayaannya, Perlindungan dan keberpihakan??.
Pemerintah Papua memiliki tanggung jawab untuk menyelamatkan masyarakat adat Papua dari sisi tata ruang ini, jika wilayah-wilayah hidup masyarakat adat tidak di masukan, maka manusia Papua yang telah lama ada di atas tanah ini di Anggap tidak ada oleh BANK DUNIA dan NEGARA INI.Tindakan ini telah keluar dari hak-hak masyarakat adat yang di atur di Konvensi PBB tentang Hak-Hak Masyrakat Adat.
Apa yang harus di perbuat??, pertama, bahwa perdasi RTRW Papua yang telah ada di Biro Hukum Provinsi Papua, sebaiknya di kembalikan kepada tiem perumus untuk memperbaikinya atau memasukan pasal-pasal yang menerangkan adanya wilayah hidup masyarakat adat. Dan harus melalui proses Uji public, Ke dua, Panitia Legislasi di DPRP perlu ke hati hatian untuk perdasi RTRW Papua ini, sebaiknya RTRW Papua di pending pembahasannya sampai dengan dimasukan hak-hak hidup masyarakat adat. Jika RTRW Papua di implementasikan tanpa penjelasan ruang-ruang hidup masyarakat adat, maka sebenarnya orang papua telah di bunuh dengan Hukum yang berlaku di Negara ini, hanya tinggal tindakan teknisnya yang akan di kerjakan oleh TNI dan POLRI , di mana akan terjadi Perburuan binatang orang Papua, secara sadis..bukankah inilah skenario yang di bangun dalam semangat Otsus????.
Negara ini tidak pernah mengasihi orang Papua, apalagi menganggap manusia Papua sebagai warganya?? adalah pertanyaan penting yang harus di jawab. Negara ini hanya membutuhkan Sumberdaya alam Papua, rusaknya lagi semua skenario ini di Bantu Oleh Bank Dunia.......kami orang Papua ingin bebas karena memang di perlakukan sama dengan binatang, tidak manusiawi kalau SDA nya saja di kuras , dan rakyatnya di perlakukan tidak adil..ini yang terbukti dalam RTRWP saat ini, dulu Indonesia mengalami nasib seperti ini makanya berjuang untuk Bebas, itu juga yang kami inginkan....
Hendrik Palo
Kamis, 02 September 2010
REDD DI PAPUA
MASYARAKAT ADAT
TANAM POHON DAPAT UANG.
(hal.3 Cepos 2 Agustus 2010 )
Oleh : Hendrik Palo
PIPWG-CCRED setuju dengan Pernyataan Gubernur Provinsi Papua tersebut ( pada Cepos, Tanggal 2 Agustus 2010 hal;3) , pernyataan ini harus di tindak lanjuti dengan sebuah kebijakan peraturan daerah agar semua pihak yang menjadikan aturan sebagai Tuhan tunduk sama aturan tersebut. Pernyataan – pernyataan politik kadang tidak terlaksana secara optimal karena tidak di dukungan oleh kebijakan yang tepat. Masyarakat adat tanam pohon saja dapat uang..aturan mana yang mengatur itu???kalau tidak ada aturannya sama saja omong kosong belaka, karena itu perlu aturannya. Jika tidak ada aturan pendukungnya maka pernyataan tersebut hanyalah sebuah slogan. Dan hanyalah mengulang-ulang pembohongan kepada masyarakat adat.
Bahwa peran Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten dan juga BPSDALH sangat penting untuk hal ini, intansi ini harus memikirkan dan merancang konsepnya bagaimana? Jangan lagi munculkan konsep terbalik, masyarakat adat tanam pohon Dinas dapat uangnya…tetapi standartnya adalah pernyataan gubernur, masyarakat adat tanam pohon lalu masyarakat adat dapat uang tunai
Bahwa Papua Indegenous People Working Group On Climate Change and REDD (PIPWG-CCREDD), memiliki personel yang memahami benar tentang Perubahan Iklim dan mekanisme REDD, mereka adalah aktifis LSM , telah mengikuti Training Of Trainer Tingkat Nasional tentang Mitigasi dan Adaptasi, perubahan iklim, REDD dan Masyarakat Adat, di Pusat Pelatihan Masyarakat Adat Provinsi Maluku.
Sehubungan dengan pernyataan Gubernur masyarakat adat bisa mendapatkan uang hanya dengan menanam pohon perlu kami sampaikan beberapa hal:
Pertama, Pernyataan tersebut sama dengan Visi PIPWG-CCRED, yaitu ; Mewujudkan Kemandirian ekonomi masyarakat adat Papua Melalui pertisipasi menurunkan Panas bumi.
Kedua, PIPWG-CCREDD siap membangun kerja sama dengan Gubernur Provinsi Papua, untuk mendorong pernyataan tersebut menjadi kenyataan, bahwa benar masyarakat tanam pohon dapat uang.
Ketiga, Pernyataan tersebut harus di dukung dengan sebuah peraturan daerah, karena banyak hal yang harus di kerjakan dari pernyataan tersebut, misalnya tentang jenis pohon apa saja yang harus di tanam, bagaimana pembayarannya nya ; apakah ada perbedaan untuk jenis-jenis pohon?, berapa harganya?, bagaimana mekanisme pembayarannya, dan lain-lain…termasuk tentang batas-batas tanah, masyarakat harus menghindari konflik karena batas tanah, bagaimana menyelesaikan batas-batas tanah tersebut, masih banyak hal lainnya yang perlu di pikirkan . karena itu di perlukan peraturan daerah, dan Dokumen Petunjuk Pelaksanaan (Juklak/Juknis) .
Ke empat, PIPWG-CCREDD, Telah membangun konsolidasi dengan masyarakat adat pada beberapa komunitas, guna mengetahui daya saya‘ serap masyarakat adat tentang informasi perubahan Iklim dan REDD, hasilnya secara umum masyarakat adat Papua masih awam tentang issue perubahan iklim dan REDD karena itu di butuhkan sosialisasi yang terus-menerus bagi masyarakat adat.
Ke lima, Bahwa kekawatiran kami adalah, Jangan ada calo perdagangan Carbon yang mengambil kesempatan ini, artinya pemerintah harus memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat Papua untuk mendapatkan uang karena menanam pohon, kami sangat keberatan kalau pengelolaan hutan oleh perusahaan pemegang ijin pengelolaan hutan, kalau hal ini terjadi maka masyarakat bukan mendapatkan uang tetapi akan menjadi lebih miskin lagi..dan konflik akan pecah di mana-mana di atas tanah Papua ini.
Ke enam, PIPWG-CCREDD, menyediakan seluruh keberadaan untuk membantu Gubernur Provinsi Papua ,dalam mewujud nyatakan pernyataan Gubernur Provinsi Papua, bahwa masyarakat adat tanam pohon mendapatkan uang.
MASYARAKAT ADAT
TANAM POHON DAPAT UANG.
(hal.3 Cepos 2 Agustus 2010 )
Oleh : Hendrik Palo
PIPWG-CCRED setuju dengan Pernyataan Gubernur Provinsi Papua tersebut ( pada Cepos, Tanggal 2 Agustus 2010 hal;3) , pernyataan ini harus di tindak lanjuti dengan sebuah kebijakan peraturan daerah agar semua pihak yang menjadikan aturan sebagai Tuhan tunduk sama aturan tersebut. Pernyataan – pernyataan politik kadang tidak terlaksana secara optimal karena tidak di dukungan oleh kebijakan yang tepat. Masyarakat adat tanam pohon saja dapat uang..aturan mana yang mengatur itu???kalau tidak ada aturannya sama saja omong kosong belaka, karena itu perlu aturannya. Jika tidak ada aturan pendukungnya maka pernyataan tersebut hanyalah sebuah slogan. Dan hanyalah mengulang-ulang pembohongan kepada masyarakat adat.
Bahwa peran Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten dan juga BPSDALH sangat penting untuk hal ini, intansi ini harus memikirkan dan merancang konsepnya bagaimana? Jangan lagi munculkan konsep terbalik, masyarakat adat tanam pohon Dinas dapat uangnya…tetapi standartnya adalah pernyataan gubernur, masyarakat adat tanam pohon lalu masyarakat adat dapat uang tunai
Bahwa Papua Indegenous People Working Group On Climate Change and REDD (PIPWG-CCREDD), memiliki personel yang memahami benar tentang Perubahan Iklim dan mekanisme REDD, mereka adalah aktifis LSM , telah mengikuti Training Of Trainer Tingkat Nasional tentang Mitigasi dan Adaptasi, perubahan iklim, REDD dan Masyarakat Adat, di Pusat Pelatihan Masyarakat Adat Provinsi Maluku.
Sehubungan dengan pernyataan Gubernur masyarakat adat bisa mendapatkan uang hanya dengan menanam pohon perlu kami sampaikan beberapa hal:
Pertama, Pernyataan tersebut sama dengan Visi PIPWG-CCRED, yaitu ; Mewujudkan Kemandirian ekonomi masyarakat adat Papua Melalui pertisipasi menurunkan Panas bumi.
Kedua, PIPWG-CCREDD siap membangun kerja sama dengan Gubernur Provinsi Papua, untuk mendorong pernyataan tersebut menjadi kenyataan, bahwa benar masyarakat tanam pohon dapat uang.
Ketiga, Pernyataan tersebut harus di dukung dengan sebuah peraturan daerah, karena banyak hal yang harus di kerjakan dari pernyataan tersebut, misalnya tentang jenis pohon apa saja yang harus di tanam, bagaimana pembayarannya nya ; apakah ada perbedaan untuk jenis-jenis pohon?, berapa harganya?, bagaimana mekanisme pembayarannya, dan lain-lain…termasuk tentang batas-batas tanah, masyarakat harus menghindari konflik karena batas tanah, bagaimana menyelesaikan batas-batas tanah tersebut, masih banyak hal lainnya yang perlu di pikirkan . karena itu di perlukan peraturan daerah, dan Dokumen Petunjuk Pelaksanaan (Juklak/Juknis) .
Ke empat, PIPWG-CCREDD, Telah membangun konsolidasi dengan masyarakat adat pada beberapa komunitas, guna mengetahui daya saya‘ serap masyarakat adat tentang informasi perubahan Iklim dan REDD, hasilnya secara umum masyarakat adat Papua masih awam tentang issue perubahan iklim dan REDD karena itu di butuhkan sosialisasi yang terus-menerus bagi masyarakat adat.
Ke lima, Bahwa kekawatiran kami adalah, Jangan ada calo perdagangan Carbon yang mengambil kesempatan ini, artinya pemerintah harus memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat Papua untuk mendapatkan uang karena menanam pohon, kami sangat keberatan kalau pengelolaan hutan oleh perusahaan pemegang ijin pengelolaan hutan, kalau hal ini terjadi maka masyarakat bukan mendapatkan uang tetapi akan menjadi lebih miskin lagi..dan konflik akan pecah di mana-mana di atas tanah Papua ini.
Ke enam, PIPWG-CCREDD, menyediakan seluruh keberadaan untuk membantu Gubernur Provinsi Papua ,dalam mewujud nyatakan pernyataan Gubernur Provinsi Papua, bahwa masyarakat adat tanam pohon mendapatkan uang.
Sabtu, 24 April 2010
PEREMPUAN ADAT
EKSISTENSI PEREMPUAN ADAT MAMBERAMO TAMI
DAN KESEJAHTERAAN HIDUP GENERASI MENDATANG.
DAN KESEJAHTERAAN HIDUP GENERASI MENDATANG.
Oleh: Hendrik Palo
Ini bukan tempat bagi perempuan untuk berbicara, perempuan seharusnya berada di dapur memasak dan mengurus anak. Kalimat yang sering terlontar dari mulut kaum laki-laki terhadap perempuan ketika terjadi rapat adat di para-para adat. Dampratan kata seperti ini terhadap perempuan adat telah menjadi tradisi pada komunitas adat penghuni wilayah Mamberamo Tami . Tempat musyawarah yag di kenal dengan sebutan para-para adat menjadi sakral dan di peruntukan hanya bagi kaum laki-laki. kaum perempuan tidak mendapat kesempatan untuk berbicara , apa lagi memberikan keputusan di para-para adat.
Tetapi peran perempuan dapat di gambarkan sebagai berikut ; Ratusan ribu perempuan di beberapa daerah ;di pulau Jawa, Sumatra dan Sulawesi telah menjadi korban banjir dan longsor sejak Oktober 2007 sampai Februari 2008. Bencana ekologis tersebut merupakan akibat dari penggundulan hutan secara sistematis. Perempuan memiliki beban berat pada saat bencana alam terjadi karena kami memikirkan ketersediaan pangan untuk anak dan keluarga, kesehatan anak dan kesehatan reproduksi perempuan terancam di daerah pengungsian dengan sanitasi yang buruk. Di tengah kondisi ini, pemerintah seolah-olah tanpa beban mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang berlaku di Departemen Kehutanan RI. Tarif sewa antara 120-300 per meter2 per tahun untuk hutan produksi. ( Solidaritas Perempuan Maret 2008 )
Mamberamo – Tami adalah sebutan dari sungai Maberamo dan Sungai Tami, dua sungai menjadi identitas bagi orang asli tanah Papua (Papua Indegenous People) yang berdomisili di kampung-kampung antara dua sungai tersebut, suku-suku asli yang berdomisili antara dua sungai ini di sebut komunitas Suku Tabi. Perempuan Suku Tabi telah menyumbangkan banyak hal untuk tanah Papua, khususnya di lingkungan suku Tabi sendiri ada yang mendapat tanggung jawab sebagai kepala-kepala SKPD baik pada Provinsi, Kabupaten hingga lurah dan Kampung, mereka menghasilkan banyak hal dari kepemimpinan tersebut, tetapi mereka tidak di hargai oleh pemuka-pemuka adat di kampung-kampung mereka,,kenapa???.
Piter Yanuaring Ketua Dewan Persekutuan Masyarakat Adat (DPMA) nambloung di Kabupaten Jayapura periode 2010-2015, yang di temui memberikan komentar sebagai berikut: Secara budaya di akui bahwa perempuan memiliki keterbatasan pada forum-forum adat resmi. Tetapi keterbatasan ini menjadi perhatian beberapa orang di lingkungan kami, lalu memberikan penguatan kepada perempuan, kami mendorong Pembentukan Ikatan Wanita Nimborang (KAWANIM) pada tahun 1977, organisasi tersebut eksis sampai hari ini, dan saya sendiri sebagai penasihat KAWANIM.
Menurut Piter yanuaring, bahwa pada perempuan terdapat banyak hal positif bagi keberadaan SDA dan rakyat kampung yang tidak terdapat pada lelaki, contohnya yang telah menyelesaikan studi pada tahap perguruan tinggi dan mengantongi ijasah sarjana, kesarjanaan ini adalah potensi yang tidak terdapat pada laki-laki, apakah perempuan ini harus di usir dari para-para adat??, ketika pengusiran ini terjadi, maka kita telah mengusir dan menolak pengetahuan dan sumberdaya manusia yang terdapat dalam kepala perempuan tersebut. Eksistensi perempuan menjadi penting ketika perempuan memiliki –kelebihan-kelebihan tertentu, Eksistensi ini perlu di dorong terus, hal ini dapat di akomodir melalui organisasi-organisasi kewanitaan yang di bentuk di tingkat komunitas, distrik dan kampung.
Efraim Yaboisembut, Ketua DPMA Kemtuik Gresi, yang membawahi 18 kampung di Distrik Kemtuik Gresi, bapak bekas kepala kampung ini mengatakan , Perempuan yang akan berada di para-para adat memiliki syarat khusus, yang pertama bahwa ketika telah berada di para-para adat , fungsi dan peran perempuan tidak sebagai peserta pembuat keputusan, tetapi hanyalah sebagai pemberi saran dan masukan, kehadirannya atas undangan dan ketika hendak berbicara harus mendapat ijin dari pimpinan rapat adat.
Lanjut ketua Komdis Partai Golkar ini, Eksistensi perempuan pada forum para-para adat sebatas memberikan saran dan masukan, bukan sebagai pengambil keputusan, secara blak-blakan dia mengatakan bahwa sampai kapanpun perempuan tidak bisa tampil sebagai pengambil keputusan di para-para adat.
Dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. 95% aktifitas pengelolaan dan memanfaatkan sumberdaya alam di kerjakan oleh kaum perempuan. Sumberdaya alam memiliki arti penting bagi Perempuan, karena bila potensi SDA dalam kondisi baik, maka akan membantu perempuan dalam memberikan makan kepada anak-anak dan suaminya, karena bahan makanan tersedia di alam. Tetapi ketika berhadapan dengan para-para adat, tetap saja perempuan tidak mendapat kesempatan untuk sebagai pengambil keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan Sumberdaya alam.
Partisipasi Politik Perempuan.
Berorganisasi berarti menghimpun manusia untuk memikirkan secara mendalam permasalahan mereka bersama, untuk mengetahui isu bersama, serta menentukan kesamaan aksi, serta membentuk kesamaan ideologi (Bhatt.1989:1062). Dominasi peran perempuan dalam kanca inisiatif sosial dan poltik di kampung dapat terjadi hanya dengan perempuan harus mendirikan organisasi khusus perempuan. Organisasi tersebut menjadi organisasi gerakan perempuan, aktifitas nya tidak terbatas pada isu kesenjangan, diskrimnasi, dan kekerasan seksual, tetapi merupakan organisasi gerakan yang dapat mempengaruhi panggung politik di kampung-kampung.
Tanah dan SDA di Wilayah Adat Suku Tabi sebagian besar telah hilang, Masyarakat adat Keerom ( orang asli setempat) saat ini hanya menguasai 35% luas tanah dari luas tanah 923.294 Ha milik mereka yang sebenarnya . Disentani , masyarakat adat Sentani kebingungan karena 3 kampung dalam masa eliminasi, akibatnya manusia akan tercerai berai, dan kampungnya di huni oleh penduduk lain. Habisnya SDA dan raupnya tanah adalah kondisi yang merata pada setiap sudut di wilayah Mamberamo Tami, kenapa semua ini harus terjadi…
Status kaum laki-laki Mamberamo – Tami sebagai pengambil keputusan telah melenceng jauh dari mandat nenek moyang suku sentani. Mandat sebenarnya adalah menjaga dan memelihara rakyat dan roh-roh nenek moyang dengan kekayaan SDA yang ada, Kanyataan faktual saat ini, bahwa dalam kepemimpinan laki-laki dan laki-laki sebagai pengambil keputusan , suku besar Mamta telah hilang banyak SDA dan, tanah dalam luasan cuku besar secara baik secara ilegal dan legal telah berpindah menjadi hak milik orang lain . status pengambil keputusan ini telah mengakibatkan marginilisasi Suku Mamta dari tanahnya sendiri, anehnya orang Mamta meminggirkan sendiri orang Mamta, Bapak meminggirkan sendiri anaknya, perlu di renungkan oleh suku besar Mamta pemingggiran internal seperti ini. Artinya bahwa keberadaan lelaki sebagai pengambil keputusan yang disakralkan selama ini perlu di tinjau atau pengujian kembali, karena seluruh surat pelepasan tanah-tanah adat di wilayah mamberamo Tami di tandatangani dengan bangga secara resmi oleh Laki-laki.
Menurut penulis, Bahwa keberadaan laki-laki sebagai pengambil keputusan dan para-para adat atau dalam internal kleen/marga tidak memberikan jaminan bahwa rakyatnya akan sejahtera. Juga tidak memberikan jaminan bahwa tanah adat tidak terjual, Malah sekarang yang terjadi sebaliknya dimana laki-laki Mamta telah menyengsarakan masyarakatnya sendiri (istri dan anak-anak mereka ) karena ruang penghidupan masyarakat telah menjadi sempit, dan telah jauh lahan-lahan berburu. Jika perlu peran laki-laki dalam pengambilan keputusan ditingkat kampung ditiadakan saja, sebaliknya mendorong dan menguatkan perempuan untuk membuat keputusan-keputusan. keberadaan perempuan tidak diakomodir oleh organisasi asli kampung tetapi gerakan sosial perempuan dapat bergejolak melalui organisasi rekayasa sendiri tetapi sah secara hukum.
KAWANIM di Nimbokrang, FoKuPer di Keerom, adalah bentuk-bentuk organisasi yang dapat di contohi, Eksistensi dan keberadaan Perempuan Mamta dapat di dorong melalui organisasi-organisasi seperti ini. Hanya perempuan yang dapat menyelamatkan generasi Papua dan SDA Papua untuk waktu yang akan datang. Penulis; Hendrik palo.
Ini bukan tempat bagi perempuan untuk berbicara, perempuan seharusnya berada di dapur memasak dan mengurus anak. Kalimat yang sering terlontar dari mulut kaum laki-laki terhadap perempuan ketika terjadi rapat adat di para-para adat. Dampratan kata seperti ini terhadap perempuan adat telah menjadi tradisi pada komunitas adat penghuni wilayah Mamberamo Tami . Tempat musyawarah yag di kenal dengan sebutan para-para adat menjadi sakral dan di peruntukan hanya bagi kaum laki-laki. kaum perempuan tidak mendapat kesempatan untuk berbicara , apa lagi memberikan keputusan di para-para adat.
Tetapi peran perempuan dapat di gambarkan sebagai berikut ; Ratusan ribu perempuan di beberapa daerah ;di pulau Jawa, Sumatra dan Sulawesi telah menjadi korban banjir dan longsor sejak Oktober 2007 sampai Februari 2008. Bencana ekologis tersebut merupakan akibat dari penggundulan hutan secara sistematis. Perempuan memiliki beban berat pada saat bencana alam terjadi karena kami memikirkan ketersediaan pangan untuk anak dan keluarga, kesehatan anak dan kesehatan reproduksi perempuan terancam di daerah pengungsian dengan sanitasi yang buruk. Di tengah kondisi ini, pemerintah seolah-olah tanpa beban mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang berlaku di Departemen Kehutanan RI. Tarif sewa antara 120-300 per meter2 per tahun untuk hutan produksi. ( Solidaritas Perempuan Maret 2008 )
Mamberamo – Tami adalah sebutan dari sungai Maberamo dan Sungai Tami, dua sungai menjadi identitas bagi orang asli tanah Papua (Papua Indegenous People) yang berdomisili di kampung-kampung antara dua sungai tersebut, suku-suku asli yang berdomisili antara dua sungai ini di sebut komunitas Suku Tabi. Perempuan Suku Tabi telah menyumbangkan banyak hal untuk tanah Papua, khususnya di lingkungan suku Tabi sendiri ada yang mendapat tanggung jawab sebagai kepala-kepala SKPD baik pada Provinsi, Kabupaten hingga lurah dan Kampung, mereka menghasilkan banyak hal dari kepemimpinan tersebut, tetapi mereka tidak di hargai oleh pemuka-pemuka adat di kampung-kampung mereka,,kenapa???.
Piter Yanuaring Ketua Dewan Persekutuan Masyarakat Adat (DPMA) nambloung di Kabupaten Jayapura periode 2010-2015, yang di temui memberikan komentar sebagai berikut: Secara budaya di akui bahwa perempuan memiliki keterbatasan pada forum-forum adat resmi. Tetapi keterbatasan ini menjadi perhatian beberapa orang di lingkungan kami, lalu memberikan penguatan kepada perempuan, kami mendorong Pembentukan Ikatan Wanita Nimborang (KAWANIM) pada tahun 1977, organisasi tersebut eksis sampai hari ini, dan saya sendiri sebagai penasihat KAWANIM.
Menurut Piter yanuaring, bahwa pada perempuan terdapat banyak hal positif bagi keberadaan SDA dan rakyat kampung yang tidak terdapat pada lelaki, contohnya yang telah menyelesaikan studi pada tahap perguruan tinggi dan mengantongi ijasah sarjana, kesarjanaan ini adalah potensi yang tidak terdapat pada laki-laki, apakah perempuan ini harus di usir dari para-para adat??, ketika pengusiran ini terjadi, maka kita telah mengusir dan menolak pengetahuan dan sumberdaya manusia yang terdapat dalam kepala perempuan tersebut. Eksistensi perempuan menjadi penting ketika perempuan memiliki –kelebihan-kelebihan tertentu, Eksistensi ini perlu di dorong terus, hal ini dapat di akomodir melalui organisasi-organisasi kewanitaan yang di bentuk di tingkat komunitas, distrik dan kampung.
Efraim Yaboisembut, Ketua DPMA Kemtuik Gresi, yang membawahi 18 kampung di Distrik Kemtuik Gresi, bapak bekas kepala kampung ini mengatakan , Perempuan yang akan berada di para-para adat memiliki syarat khusus, yang pertama bahwa ketika telah berada di para-para adat , fungsi dan peran perempuan tidak sebagai peserta pembuat keputusan, tetapi hanyalah sebagai pemberi saran dan masukan, kehadirannya atas undangan dan ketika hendak berbicara harus mendapat ijin dari pimpinan rapat adat.
Lanjut ketua Komdis Partai Golkar ini, Eksistensi perempuan pada forum para-para adat sebatas memberikan saran dan masukan, bukan sebagai pengambil keputusan, secara blak-blakan dia mengatakan bahwa sampai kapanpun perempuan tidak bisa tampil sebagai pengambil keputusan di para-para adat.
Dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. 95% aktifitas pengelolaan dan memanfaatkan sumberdaya alam di kerjakan oleh kaum perempuan. Sumberdaya alam memiliki arti penting bagi Perempuan, karena bila potensi SDA dalam kondisi baik, maka akan membantu perempuan dalam memberikan makan kepada anak-anak dan suaminya, karena bahan makanan tersedia di alam. Tetapi ketika berhadapan dengan para-para adat, tetap saja perempuan tidak mendapat kesempatan untuk sebagai pengambil keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan Sumberdaya alam.
Partisipasi Politik Perempuan.
Berorganisasi berarti menghimpun manusia untuk memikirkan secara mendalam permasalahan mereka bersama, untuk mengetahui isu bersama, serta menentukan kesamaan aksi, serta membentuk kesamaan ideologi (Bhatt.1989:1062). Dominasi peran perempuan dalam kanca inisiatif sosial dan poltik di kampung dapat terjadi hanya dengan perempuan harus mendirikan organisasi khusus perempuan. Organisasi tersebut menjadi organisasi gerakan perempuan, aktifitas nya tidak terbatas pada isu kesenjangan, diskrimnasi, dan kekerasan seksual, tetapi merupakan organisasi gerakan yang dapat mempengaruhi panggung politik di kampung-kampung.
Tanah dan SDA di Wilayah Adat Suku Tabi sebagian besar telah hilang, Masyarakat adat Keerom ( orang asli setempat) saat ini hanya menguasai 35% luas tanah dari luas tanah 923.294 Ha milik mereka yang sebenarnya . Disentani , masyarakat adat Sentani kebingungan karena 3 kampung dalam masa eliminasi, akibatnya manusia akan tercerai berai, dan kampungnya di huni oleh penduduk lain. Habisnya SDA dan raupnya tanah adalah kondisi yang merata pada setiap sudut di wilayah Mamberamo Tami, kenapa semua ini harus terjadi…
Status kaum laki-laki Mamberamo – Tami sebagai pengambil keputusan telah melenceng jauh dari mandat nenek moyang suku sentani. Mandat sebenarnya adalah menjaga dan memelihara rakyat dan roh-roh nenek moyang dengan kekayaan SDA yang ada, Kanyataan faktual saat ini, bahwa dalam kepemimpinan laki-laki dan laki-laki sebagai pengambil keputusan , suku besar Mamta telah hilang banyak SDA dan, tanah dalam luasan cuku besar secara baik secara ilegal dan legal telah berpindah menjadi hak milik orang lain . status pengambil keputusan ini telah mengakibatkan marginilisasi Suku Mamta dari tanahnya sendiri, anehnya orang Mamta meminggirkan sendiri orang Mamta, Bapak meminggirkan sendiri anaknya, perlu di renungkan oleh suku besar Mamta pemingggiran internal seperti ini. Artinya bahwa keberadaan lelaki sebagai pengambil keputusan yang disakralkan selama ini perlu di tinjau atau pengujian kembali, karena seluruh surat pelepasan tanah-tanah adat di wilayah mamberamo Tami di tandatangani dengan bangga secara resmi oleh Laki-laki.
Menurut penulis, Bahwa keberadaan laki-laki sebagai pengambil keputusan dan para-para adat atau dalam internal kleen/marga tidak memberikan jaminan bahwa rakyatnya akan sejahtera. Juga tidak memberikan jaminan bahwa tanah adat tidak terjual, Malah sekarang yang terjadi sebaliknya dimana laki-laki Mamta telah menyengsarakan masyarakatnya sendiri (istri dan anak-anak mereka ) karena ruang penghidupan masyarakat telah menjadi sempit, dan telah jauh lahan-lahan berburu. Jika perlu peran laki-laki dalam pengambilan keputusan ditingkat kampung ditiadakan saja, sebaliknya mendorong dan menguatkan perempuan untuk membuat keputusan-keputusan. keberadaan perempuan tidak diakomodir oleh organisasi asli kampung tetapi gerakan sosial perempuan dapat bergejolak melalui organisasi rekayasa sendiri tetapi sah secara hukum.
KAWANIM di Nimbokrang, FoKuPer di Keerom, adalah bentuk-bentuk organisasi yang dapat di contohi, Eksistensi dan keberadaan Perempuan Mamta dapat di dorong melalui organisasi-organisasi seperti ini. Hanya perempuan yang dapat menyelamatkan generasi Papua dan SDA Papua untuk waktu yang akan datang. Penulis; Hendrik palo.
PERADILAN ADAT KAMPUNG NETAR
PERADILAN ADAT
KAMPUNG NETAR DI PAPUA
MEMBUKTIKAN BAHWA TATANAN ADAT TIDAK STATIS
Terbukti Menjual Tanah Adat ,
3 (Tiga) Kepala Suku (Koselo) di Copot dari Jabatannya.
3 (Tiga) Kepala Suku (Koselo) di Copot dari Jabatannya.
Oleh: Hendrik Palo
Peristiwa bersejarah ini terjadi pada tanggal 5 Maret 2010 di halaman adat (Onggohou yau ) Kampung Netar Distrik Sentani Timur Kabupaten Jayapura Provinsi Papua, kampung Netar adalah sala satu kampung daru 24 kampung yang dimiliki oleh Suku Sentani. 3 orang kepala suku langsung di copot jabatan adatnya oleh Ondofolo Kampung Netar karena secara nyata-nyata terbukti menjual tanah adat milik seluruh masyarakat Kampung Netar. Mereka yang di copot jabatanya, di antaranya ada yang sempat meneteskan air mata, dan ada yang menerima dengan lapang dada…
Kampung Netar/Nendali , adalah sebuah kampung di lingkungan Suku Sentani, kampung ini memiliki hubungan dengan kampung Yoboi dan kampung Baborongko di wilayah Sentani timur. Hubungan ini adalah hubungan kakak beradik, Dahulu mereka menempati kampung Abar, selanjunya hidup di pulau Plolio dan selanjunya terbagi ke kampung Yoboi dan kampung Baborongko, Kakak tertua dari keluarga ini yang membentuk kampung Netar saat ini. Dalam administrasi pemerintahan wilayah ini disebut Kampung Nendali, berada di distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura - Provinsi Papua…
Tutur Ondofolo ketika Perdilan Adat,; tanah, hutan dan hutan sagu (Kani-kela, Fiung-fikela ) dan kampung yang kita tempati ini di peroleh melalui pengorbanan yang cukup besar oleh leluhur, dengan peperangan yang luar biasa mereka mendapatkan wilayah ini dan mereka membentuk kampung ( Yo), setelah membentuk kampung mereka menempatkan Kepala suku (Koselo ) dan membagikan tanah-tanah adat kepada mereka. (You mokhogoke, na-roo Hamikoke, Kani waheimikoke). Pengorbanan ini hanya untuk memelihara kita, dan hingga saat ini kita ada dan menjalani kehidupan diatas tanah di kampung ini.
Beberapa orang diantara kita telah menjual tanah kepada pihak lain, awalnya saya menilai mereka adalah orang-orang yang baik, karena dalam setiap pertemuan adat mereka selalu berbicara dan bahkan yang mengatur jalannya komunikasi dalam pertemuan, sering kali pertemuan tersebut merumuskan pernyataan-pernyataan yang keras bagi masyarakat untuk tidak menjual tanah, tetapi sebaliknya mereka ini yang justru menjadi oknum utama dalam jual menjual tanah. Saking percayanya saya kepada mereka, sehingga banyak tanah yang telah mereka lepaskan kepada Bintang Mas. Tetapi semua ini telah saya tebus dengan menjadi tahanan di Polda Papua, ajakan saya agar kita kembali dan tidak lagi menjual tanah masih tidak di perhatikan oleh mereka, bahkan saya datangi rumah mereka untuk menasihati dan menegur tetapi tetap saja tidak di gubris, Pada hari ini saya nyatakan mereka di copot dari jabatannya dan di ganti oleh orang-orang yang saya sebutkan ini.
Peristiwa ini di nilai sebagai peristiwa bersejarah karena, telah menjadi rahasia umum bahwa jabatan –jabatan adat di lingkungan suku Sentani adalah jabatan turun temurun. Ketika meninggal bapaknya maka jabatan tersebut akan diisi atau di gantikan oleh anaknya yang tertua. Tidak kepada orang lain. Tetapi sebuah sejarah terukir di kampung Netar, Kepala suku di ganti oleh orang lain.
Ondofolo Netar atas nama. Philips Eba Walli, memberikan komentar bahwa, tanah dan hutan (kani kela) harus di lindungi demi kehidupan generasi mendatang, ketika tanah dan hutan terjual, kita telah menyengsarakan generasi kampung ini secara dini dan perlahan. Generasi ini akan terpinggirkan dan menjadi komunitas miskin di jalanan. Kekayaan kita saat ini adalah tanah dan hutan, untuk kehidupan kita dan kehidupan generasi yang akan datang. Kepala Suku menjadi penjual tanah..bagaimana dengan kehidupan rakyatnya pada tahun-tahun , mereka akan hidup dimana??.
Dalam kasus ini banyak orang memberikan penilaian, ada yang mengatakan bahwa keputusan tersebut adalah keputusan yang tidak menghargai tatanan adat, tetapi beberapa pertimbangan yang di buat oleh Ondofolo yaitu:
Pertama , Jika menghargai 1 orang ( kepala suku) , maka ribuan masyarakat dari kampung ini akan menjadi korban, sebagai masyarakat yang tidak mempunyai tanah dan ruang sebagai tempat hidup, kedua, untuk mengurus dan pengambilan kembali tanah-tanah adat, tidak mungkin kita menjadi satu tiem, karena telah terbukti bahwa pasca rapat mereka tetap menjual tanah.
Hukum dan kebiasaan adat tidak statis, tetapi dapat mengalami perubahan sewaktu-waktu dan itulah yang terjadi dengan masyarakat adat di kampung Netar. Pengalaman di kampung Netar ini dapat menjadi bahan belajar bagi komunitas adat lainnya di tanah Papua. Peradilan adat di kampung-kampung harus di tegakan untuk mengamankan tanah-tanah adat. Jabatan yang di berikan adalah jabatan adat atau jabatan milik kampung, jika terdapat pejabat adat menjual tanah artinya bahwa yang bersangkutan telah membunuh masyarakatnya sendiri maka mau tidak mau jabatan adatnya harus di copot karena jabatan tersebut adalah milik rakyat dan miliki kampung. Dengan mencopot jabatannya, maka segalahhak dan kewajibannya termasuk tanah telah berpindah fungsi pengelolaannya kepada pejabat baru, dan status yang bersangkutan menjadi masyarakat biasa. Hendrik Palo
Kampung Netar/Nendali , adalah sebuah kampung di lingkungan Suku Sentani, kampung ini memiliki hubungan dengan kampung Yoboi dan kampung Baborongko di wilayah Sentani timur. Hubungan ini adalah hubungan kakak beradik, Dahulu mereka menempati kampung Abar, selanjunya hidup di pulau Plolio dan selanjunya terbagi ke kampung Yoboi dan kampung Baborongko, Kakak tertua dari keluarga ini yang membentuk kampung Netar saat ini. Dalam administrasi pemerintahan wilayah ini disebut Kampung Nendali, berada di distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura - Provinsi Papua…
Tutur Ondofolo ketika Perdilan Adat,; tanah, hutan dan hutan sagu (Kani-kela, Fiung-fikela ) dan kampung yang kita tempati ini di peroleh melalui pengorbanan yang cukup besar oleh leluhur, dengan peperangan yang luar biasa mereka mendapatkan wilayah ini dan mereka membentuk kampung ( Yo), setelah membentuk kampung mereka menempatkan Kepala suku (Koselo ) dan membagikan tanah-tanah adat kepada mereka. (You mokhogoke, na-roo Hamikoke, Kani waheimikoke). Pengorbanan ini hanya untuk memelihara kita, dan hingga saat ini kita ada dan menjalani kehidupan diatas tanah di kampung ini.
Beberapa orang diantara kita telah menjual tanah kepada pihak lain, awalnya saya menilai mereka adalah orang-orang yang baik, karena dalam setiap pertemuan adat mereka selalu berbicara dan bahkan yang mengatur jalannya komunikasi dalam pertemuan, sering kali pertemuan tersebut merumuskan pernyataan-pernyataan yang keras bagi masyarakat untuk tidak menjual tanah, tetapi sebaliknya mereka ini yang justru menjadi oknum utama dalam jual menjual tanah. Saking percayanya saya kepada mereka, sehingga banyak tanah yang telah mereka lepaskan kepada Bintang Mas. Tetapi semua ini telah saya tebus dengan menjadi tahanan di Polda Papua, ajakan saya agar kita kembali dan tidak lagi menjual tanah masih tidak di perhatikan oleh mereka, bahkan saya datangi rumah mereka untuk menasihati dan menegur tetapi tetap saja tidak di gubris, Pada hari ini saya nyatakan mereka di copot dari jabatannya dan di ganti oleh orang-orang yang saya sebutkan ini.
Peristiwa ini di nilai sebagai peristiwa bersejarah karena, telah menjadi rahasia umum bahwa jabatan –jabatan adat di lingkungan suku Sentani adalah jabatan turun temurun. Ketika meninggal bapaknya maka jabatan tersebut akan diisi atau di gantikan oleh anaknya yang tertua. Tidak kepada orang lain. Tetapi sebuah sejarah terukir di kampung Netar, Kepala suku di ganti oleh orang lain.
Ondofolo Netar atas nama. Philips Eba Walli, memberikan komentar bahwa, tanah dan hutan (kani kela) harus di lindungi demi kehidupan generasi mendatang, ketika tanah dan hutan terjual, kita telah menyengsarakan generasi kampung ini secara dini dan perlahan. Generasi ini akan terpinggirkan dan menjadi komunitas miskin di jalanan. Kekayaan kita saat ini adalah tanah dan hutan, untuk kehidupan kita dan kehidupan generasi yang akan datang. Kepala Suku menjadi penjual tanah..bagaimana dengan kehidupan rakyatnya pada tahun-tahun , mereka akan hidup dimana??.
Dalam kasus ini banyak orang memberikan penilaian, ada yang mengatakan bahwa keputusan tersebut adalah keputusan yang tidak menghargai tatanan adat, tetapi beberapa pertimbangan yang di buat oleh Ondofolo yaitu:
Pertama , Jika menghargai 1 orang ( kepala suku) , maka ribuan masyarakat dari kampung ini akan menjadi korban, sebagai masyarakat yang tidak mempunyai tanah dan ruang sebagai tempat hidup, kedua, untuk mengurus dan pengambilan kembali tanah-tanah adat, tidak mungkin kita menjadi satu tiem, karena telah terbukti bahwa pasca rapat mereka tetap menjual tanah.
Hukum dan kebiasaan adat tidak statis, tetapi dapat mengalami perubahan sewaktu-waktu dan itulah yang terjadi dengan masyarakat adat di kampung Netar. Pengalaman di kampung Netar ini dapat menjadi bahan belajar bagi komunitas adat lainnya di tanah Papua. Peradilan adat di kampung-kampung harus di tegakan untuk mengamankan tanah-tanah adat. Jabatan yang di berikan adalah jabatan adat atau jabatan milik kampung, jika terdapat pejabat adat menjual tanah artinya bahwa yang bersangkutan telah membunuh masyarakatnya sendiri maka mau tidak mau jabatan adatnya harus di copot karena jabatan tersebut adalah milik rakyat dan miliki kampung. Dengan mencopot jabatannya, maka segalahhak dan kewajibannya termasuk tanah telah berpindah fungsi pengelolaannya kepada pejabat baru, dan status yang bersangkutan menjadi masyarakat biasa. Hendrik Palo
BADAN OTORITA ADAT SENTANI
BADAN OTORITA ADAT SENTANI
Mata air atau Air Mata
Oleh :Hendrik Palo
Suku Sentani, adalah salah satu Suku dari 250 Etnis Suku di Papua. Suku Sentani lebih dikenal dengan Danau Sentani dan Gunung Ciclop, 24 kampung berdomisili di sekitar Danau Sentani. Dan pegunungan cyclop adalah penghasil air bersih bagi warga di sekitar kota Sentani.
Masyarakat Adat Suku Sentani di kagetkan oleh hadirnya sebuah organisasi di linkungan suku mereka, yang disebut Badan Otorita Adat Sentani ( BOAS). Menurut mereka tidak ada angin tidak ada hujan tetapi tiba-tiba ada Deklarasi tentang Organisasi Badan Otorita Adat Sentani ini. Ada apa di balik semua ini ?? Bagaimana proses pembentukannya???, dimana di bentuk???, dan apa manfaatnya bagi Suku Sentani??? tiga pertanyaan ini menggelitik masyarakat adat Sentani.
Pembentukan sebuah organisasi berdasarkan mekanisme demokrasi yang benar, jujur dan adil. organisasi harus lahir dari sebuah masalah bersama, dan organisasi tersebut di harapkan menjadi alat untuk menyelesaikan masalah tersebut. Lahirnya Badan Otorita Adat Sentani tidak melalui mekanisme organisasi yang baik, penempatan pengurusnyapun tidak melalui sebuah proses pemilihan, tetapi masing-masing orang tersebut mengangkat dirinya secara sendiri, dan menyatakan kepada publik sebagai ketua umum, ketua I dan lain-lain.
Berdasarkan kondisi di atas, kami simpulkan bahwa lembaga ini di bentuk untuk memenuhi kepentingan dari para pengurusnya dan bukan untuk kepentingan masyarakat adat Suku Sentani. Sehubungan dengan dekatnya waktu pemilu Pilkada Kabupaten terutama kabupaten Jayapura, maka beberapa calon mulai melaksanakan muf dalam menarik perhatian publik, demikian halnya dengan berdirinya Badan Otoritas Adat Sentani, hanyalah Muf beberapa orang untuk kepentingan politik.
Saya garis bawahi bahwa, Kekuasaan (otorita) adat asli yang ada pada ondofolo (kepala adat asli) secara lahiriah tidak dapat di mandatkan kepada siapapun manusia di muka bumi ini , otorita adat secara utuh dan kekal tetap berada pada pimpinan pimpinan asli kampung yaitu yang disebut ondofolo, secara turun temurun, dan tidak satupun ondofolo dari kampung lain dapat mewakili ondofolo lainnya dari kampung lain. Atau mengatakan bahwa dia di berikan kuasa oleh ondofolo lainnya. Pembentukan Badan Otorita Adat Sentani adalah sebuah kekeliruan yang di ciptakan oleh beberapa orang asal Santani, dimana letak kekeliruannya , mari kita lihat sama-sama, kekeliruannya adalah ketika mereka menamakan diri mereka sebagai orang-orang yang lebih berkuasa secara adat dari 24 ondofolo yang ada di Suku Sentani, sementara hal seperti ini sangat di tentang oleh seluruh orang sentani.
Masyarakat adat Sentani dan secara umum kepada masyarakat di Papua di himbau untuk tidak terkecoh dengan aksi dari orang-orang berkepentingan seperti ini, tetapi sebaiknya lebih waspada dalam menilai perubahan-perubahan yang terjadi. Lebih penting adalah jangan pernah melimpahkan kekuasaan adat kepada pihak lain,karena ketika pelimpahan kekuasaan adat tersejadi maka , hal ini tidak menggambarkan adat yang sebenarnya.
Hanya mengingatkan kepada masyarakat adat asal Suku Sentani, Secara bersama-sama masyarakat adat Sentani masih memiliki pekerjaan rumah ( agenda bersama) yang belum selesai, yaitu menindak lanjuti rekomendasi Puspenka sentani tahun 2003. Ketika semua ondofolo ( pimpinan adat kampung), koselo ( kepala suku), akhona, tokoh pemuda, tokoh perempuan, dan tokoh masyarakat berkumpul di Gedung Pertemuan Puspenka Sentani dengan agenda menata masadepan orang Sentani. Pada kesempatan tersebut masyarakat Suku Sentani menyatakan ketidak percayaan mereka kepada organisasi yang ada, dan bersepakat merekomendasikan pembentukan sebuah organisasi yang lahir dan tumbuh dari masyarakat adat sendiri, tidak lahir dari luar , dan memaksa untuk di terima oleh masyarakat.
Organisasi adat yang lahir dan tumbuh dari masyarakat adat dan di pimpin sendiri oleh masyarakat adat , adalah impian masyarakat adat suku Sentani saat ini, jangan lagi menghadirkan organisasi-organisasi atas nama masyarakat adat Suku Sentani di lingkungan Suku Sentani hanya untuk kepentingan-kepentingan sesaat.
BOAS apakah menjadi mata air atau menjadi air mata, secara alami mata air adalah sumber penghasil air tanah yang bersih dan cukup higienis bagi kehidupan makluk hidup, manusia secara langsung dapat mengkonsumsi air tanah tersebut. Mata air adalah kehidupan. Air mata adalah tetesan air yang keluar dari mata ketika orang sedang menangis. Tangis manusia dapat terjadi karena sedih , marah, atau karena hal-hal lain yang tidak di terima oleh manusia.
Ketika beberapa menit terkena panas matahari maka manusia akan mencari rindang pohon untuk perteduhan, dan akan meminum air untuk menghilangkan rasa haus. Boas di kuatirkan menjadi Bak Air yang tertutup, fungsinyanya hanya sebagai penampung air, air yang akan memberi kelegaan bagi manusia hanya akan tertampung di dalam bak air tersebut .Dari proses pendirian Boas dan mekanisme lainnya yang di pertontonkan oleh pendirinya maka kesimpulannya ke depan BOAS akan menjadi menampung air hanya untuk pengurusnya saja, dan nasib Masyarakat Suku Sentani tetap terkatung-katung…hidup enggan matipun tidak mau…
Tujuan penulisan ini, memberikan penyegaran kepada pendiri BOAS, untuk kembali mempertimbangkan nama organisasi tersebut. Karena telah mengambil kekuasaan kepala adat lainnya, tanpa mendapatkan mandat dari 24 kepala adat yang ada.
Mata air atau Air Mata
Oleh :Hendrik Palo
Suku Sentani, adalah salah satu Suku dari 250 Etnis Suku di Papua. Suku Sentani lebih dikenal dengan Danau Sentani dan Gunung Ciclop, 24 kampung berdomisili di sekitar Danau Sentani. Dan pegunungan cyclop adalah penghasil air bersih bagi warga di sekitar kota Sentani.
Masyarakat Adat Suku Sentani di kagetkan oleh hadirnya sebuah organisasi di linkungan suku mereka, yang disebut Badan Otorita Adat Sentani ( BOAS). Menurut mereka tidak ada angin tidak ada hujan tetapi tiba-tiba ada Deklarasi tentang Organisasi Badan Otorita Adat Sentani ini. Ada apa di balik semua ini ?? Bagaimana proses pembentukannya???, dimana di bentuk???, dan apa manfaatnya bagi Suku Sentani??? tiga pertanyaan ini menggelitik masyarakat adat Sentani.
Pembentukan sebuah organisasi berdasarkan mekanisme demokrasi yang benar, jujur dan adil. organisasi harus lahir dari sebuah masalah bersama, dan organisasi tersebut di harapkan menjadi alat untuk menyelesaikan masalah tersebut. Lahirnya Badan Otorita Adat Sentani tidak melalui mekanisme organisasi yang baik, penempatan pengurusnyapun tidak melalui sebuah proses pemilihan, tetapi masing-masing orang tersebut mengangkat dirinya secara sendiri, dan menyatakan kepada publik sebagai ketua umum, ketua I dan lain-lain.
Berdasarkan kondisi di atas, kami simpulkan bahwa lembaga ini di bentuk untuk memenuhi kepentingan dari para pengurusnya dan bukan untuk kepentingan masyarakat adat Suku Sentani. Sehubungan dengan dekatnya waktu pemilu Pilkada Kabupaten terutama kabupaten Jayapura, maka beberapa calon mulai melaksanakan muf dalam menarik perhatian publik, demikian halnya dengan berdirinya Badan Otoritas Adat Sentani, hanyalah Muf beberapa orang untuk kepentingan politik.
Saya garis bawahi bahwa, Kekuasaan (otorita) adat asli yang ada pada ondofolo (kepala adat asli) secara lahiriah tidak dapat di mandatkan kepada siapapun manusia di muka bumi ini , otorita adat secara utuh dan kekal tetap berada pada pimpinan pimpinan asli kampung yaitu yang disebut ondofolo, secara turun temurun, dan tidak satupun ondofolo dari kampung lain dapat mewakili ondofolo lainnya dari kampung lain. Atau mengatakan bahwa dia di berikan kuasa oleh ondofolo lainnya. Pembentukan Badan Otorita Adat Sentani adalah sebuah kekeliruan yang di ciptakan oleh beberapa orang asal Santani, dimana letak kekeliruannya , mari kita lihat sama-sama, kekeliruannya adalah ketika mereka menamakan diri mereka sebagai orang-orang yang lebih berkuasa secara adat dari 24 ondofolo yang ada di Suku Sentani, sementara hal seperti ini sangat di tentang oleh seluruh orang sentani.
Masyarakat adat Sentani dan secara umum kepada masyarakat di Papua di himbau untuk tidak terkecoh dengan aksi dari orang-orang berkepentingan seperti ini, tetapi sebaiknya lebih waspada dalam menilai perubahan-perubahan yang terjadi. Lebih penting adalah jangan pernah melimpahkan kekuasaan adat kepada pihak lain,karena ketika pelimpahan kekuasaan adat tersejadi maka , hal ini tidak menggambarkan adat yang sebenarnya.
Hanya mengingatkan kepada masyarakat adat asal Suku Sentani, Secara bersama-sama masyarakat adat Sentani masih memiliki pekerjaan rumah ( agenda bersama) yang belum selesai, yaitu menindak lanjuti rekomendasi Puspenka sentani tahun 2003. Ketika semua ondofolo ( pimpinan adat kampung), koselo ( kepala suku), akhona, tokoh pemuda, tokoh perempuan, dan tokoh masyarakat berkumpul di Gedung Pertemuan Puspenka Sentani dengan agenda menata masadepan orang Sentani. Pada kesempatan tersebut masyarakat Suku Sentani menyatakan ketidak percayaan mereka kepada organisasi yang ada, dan bersepakat merekomendasikan pembentukan sebuah organisasi yang lahir dan tumbuh dari masyarakat adat sendiri, tidak lahir dari luar , dan memaksa untuk di terima oleh masyarakat.
Organisasi adat yang lahir dan tumbuh dari masyarakat adat dan di pimpin sendiri oleh masyarakat adat , adalah impian masyarakat adat suku Sentani saat ini, jangan lagi menghadirkan organisasi-organisasi atas nama masyarakat adat Suku Sentani di lingkungan Suku Sentani hanya untuk kepentingan-kepentingan sesaat.
BOAS apakah menjadi mata air atau menjadi air mata, secara alami mata air adalah sumber penghasil air tanah yang bersih dan cukup higienis bagi kehidupan makluk hidup, manusia secara langsung dapat mengkonsumsi air tanah tersebut. Mata air adalah kehidupan. Air mata adalah tetesan air yang keluar dari mata ketika orang sedang menangis. Tangis manusia dapat terjadi karena sedih , marah, atau karena hal-hal lain yang tidak di terima oleh manusia.
Ketika beberapa menit terkena panas matahari maka manusia akan mencari rindang pohon untuk perteduhan, dan akan meminum air untuk menghilangkan rasa haus. Boas di kuatirkan menjadi Bak Air yang tertutup, fungsinyanya hanya sebagai penampung air, air yang akan memberi kelegaan bagi manusia hanya akan tertampung di dalam bak air tersebut .Dari proses pendirian Boas dan mekanisme lainnya yang di pertontonkan oleh pendirinya maka kesimpulannya ke depan BOAS akan menjadi menampung air hanya untuk pengurusnya saja, dan nasib Masyarakat Suku Sentani tetap terkatung-katung…hidup enggan matipun tidak mau…
Tujuan penulisan ini, memberikan penyegaran kepada pendiri BOAS, untuk kembali mempertimbangkan nama organisasi tersebut. Karena telah mengambil kekuasaan kepala adat lainnya, tanpa mendapatkan mandat dari 24 kepala adat yang ada.
Langganan:
Postingan (Atom)