ISTRI MARIPANGESTU
MEMILIKI UTANG DI KAMPUNG ASEI
DISTRIK SENTANI TIMUR- KABUPATEN
JAYAPURA –PROVINSI PAPUA……………………..
Desainer mesin ini tidak menerima apa yang masyarakat
disini sampaikan, sehingga hasilnya
begini, Mesin –mesin ini tidak bisa di pakai lagi dan saat ini mulai menjadi Besi Tua. Demikian
yang di sampaikan oleh Kepala Kampung
Asei Pulau atas nama Marthen Ohee kepada saya di Para-para adat Asei Pulau
ketika saya bersama kawan dari 24
kampung di sentani melaksanakan
latihan tarian perang di sana.
Ketika sedang makan di restoran Oheey Faa, salah satu
restoran di pinggiran Danau Sentani, istri dari Mari Pengestu melihat sebuah
kampung di tengah danau sentani yaitu kampung Asei namanya, bertepatan dengan
keberadaannya waktu itu di Papua Dia berniat mengunjungi Kampung Asei,
akhirnya Pemerintah daerah mempersiapkan
akomodasinya dan ibu Mari pengestu
berhasil mendatangi kampung Asei Ketika Itu.
Ada apa di Kampung Asei ini, kampung ini adalah
kampung Penghasil ukiran diatas kulit kayu,
merupakan satu-satunya kampung di
dunia yang menghasilkan ukiran di atas
kulit kayu. Kampung ini terkenal secara internasional karena ukiran kayu yang
di hasilkan oleh masyarakat nya. Ketika
mengunungi kampung ini, terjadi diskusi dengan masyarakat Kampung sei,
Permintaan masyarakat adalah ibu harus memberikan kepada mereka Mesin untuk membuat bahan baku
ukiran kulit kayu, atau mesin untuk membuat kulit kayu menjadi bahan yang siap
untuk di ukir. Hal ini di setujui oleh
ibu Mari pangestu, tidak lama kemudian datang mesin pencetak kulit kayu, setelah di test
ternyata kulit kayunya tidak mengalami proses
penumbukkan tetapi tetap seperti semula. Mesin rolpress tidak memproses
kulit kayu sama sekali, 4 buah mesin
sama saja , langkah yang di ambil adalah
membuat mesin tetapi yang menumbuk kulit
kayu, itupun terjadi kesalahan karena mesin tersebut tidak memiliki kecepatan
yang dapat di atur untuk lamabat atau cepat,
sehingga kalit yang di coba di
tumbuk menjadi bolong dan tidak layak sebagai bahan untuk ukiran kayu, setelah itu, tidak ada solusinya lagi, semua
mesin –mesin masih tersimpan di rumah
adat kampung Asei, di perkirakan biaya yang kelur untuk mesin ini bisa sekitar
500-700 juta., karena kelamaan tanpa penutup, mesin-mesin ini mulai karatan.
Dalam Diskusi saya dengan kepala kampung Asei Pulau
ini, inilah bentuk-bentuk kerja orang yang hanya mencari keuntungan semata,
sehingga tidak menghasilkan satupun
mesin pencetak bahan ukiran kulit kayu yang tepat, tetapi justru semakin di
rubah, menjadi semakin rumit, dan bahkan di tinggalkan begitu saja tanpa ada
pihak yang mau bertanggung jawab.
Pada mesin tersebut terdapat tulisan cetakan hitam, “
Sarana prasarana produksi bantuan pusat kementerian Perdagangan. Dan Industri”, jika terdapat tulisan seperti ini makan jelas
, bahwa pihak mana yang harus bertanggung jawab, dalam diskusi saya minta
kepada kepala kampung Asei Kecil untuk segera kirimkan surat kepada kementrian
perdagangan agar segera mengangkat mesin-mesin ini dari Asei pulau, karena tidak di gunakan oleh
masyarakat. Melalu kesempat ini saya ingin sampaikan kepada pemerintah sebagai
pemberi danah, apabila ada laporan yang baik tetang yang proyek ini, maka
jangan di percaya, karena Mesin-Mesin tersebut tidak digunakan sama sekali,
karena salah desaian, dan salah memberikan Mesin. Pihak pelaksana proyek ini pasti
di untungkan, masyarakat tertipu dengan para pihak tersebut…. Hendrik Palo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar