Kamis, 03 Mei 2012



PENUTUPAN RAMAYANA DEPARTEMENT STORE DI ABEPURA
EKSEKUTIF DAN LEGILATIF DI KOTA MADYA JAYAPURA
PERLU MENERBITKAN

PERDA TENTANG PERLINDUNGAN 
HAK ULAYAT ATAS TANAH ADAT;


Oleh : hendrik Palo


Maafkan sy..tulisan ini agak lambat sy terbitkan......
Ketika saya melewati lokasi pembangunan suermarket ramayana di Abepura, Kotamadya jayapura, Provinsi Papua, tepatnya di sebelah gendung DPRD kota Jayapura pada tanggal 10 Mei 2010, saya terkejut menyaksikan adanya larangan daun kelapa kering berwarna kuning, di pintu masuk ramayana supermarket yang baru di resmikan pada tanggal 8 maei 2010 oleh Walikota Jayapura, dan beberapa tulisan pada spanduk yang berbunyi.....denda ganti rugi tanah 200M , saya berhenti sebentar untuk mengabadikan fakta tersebut.

Jika penutupan di laksanakan dengan dedaunan , maka penutupan tersebut berat resikonya bagi yang berani membuka. Dedaunan tersebut hanya dapat di lepas oleh orang yang memasangnya, pada kampung -kampung adat di sekitar Jayapura masih menganut kehidupan magic, adanya dedaunan pada pintu ramayana DS sebagai simbol penutupan adalah bukti bahwa masyarakat adat Kampung Enggros, Tobati dan Nafri masih memiliki ilmu-ilmu gaib yang di percaya memiliki kekuatan untuk menolong mereka. simbol penutupan dengan dedaunan kelapa tersebut dapat di lepaskan oleh orang yang khusus bertanggung jawab untuk urusan magic. Hal yang sama selalu di pergunakan untuk pelarangan pengambilan buah kelapa atau pinang di hutan tertentu, pada jalan-jalan masuk hutan akan di berikan tanda-tanda dedaunan atau tanda alam lainnya sebagai larangan, mereka yang melanggar dapat meninggal dunia, hukuman lebih ringan adalah akan timbul bisul yang sangat sakit di daerah kemaluan baik laki maupun perempuan.


Kucing-kucingan pemerintah seperti ini terjadi secara umum di tanah Papua, ironisnya bahwa banyak sekali pengalaman seperti ini terjadi diatas tanah Papua tetapi tak satupun menjadi bahan pembelajaran bagi pemerintah kota jayapura. khususnya dan pemerintah Provinsi papua umumnya, lebih buruknya lagi bahwa yang menjalankan pemerintahan di seluruh tanah Papua adalah anak-anak adat, orang-orang asli Papua, tetapi sulit bagi mereka untuk menyelesaikan masalah-masalah seperti ini. secara pribadi saya angkat topi bagi saudara2ku yang pendatang, mereka memiliki hati yang tulus untuk menyelesaikan masalah-masalah hak ulayat dibandingkan kita yang keriting.


Hak ulayat adalah hak adat yang telah di miliki oleh masyarakat adat sejak nenek moyangnya, dan hak tersebut telah ada sebelum Negara Indonesia ini ada di Nusantara ini , selaku anak-anak adat yang memegang kendali Pemerintahan Negara Indonesia di tingkat provinsi, kabupaten, Distrik dan kampung jangan terkecoh dengan aturan Negara, anak anak adat memiliki tanggung jawab moral untuk menghargai, menghormati, dan menjalankan nilai-nilai adat, tidak ada orang lain yang akan menjalankan nilai-nilai adat tersebut, itu adalah adat kita dan hanya kita yang dapat menjalankanya secara tepat dan benar.


Letak Ramayana Departement Store di sebelahnya gedung DPRD Kota jayapura, selaku wakil rakyat anggota DPRD kota Jayapura seharusnya memperlihatkan reaksi atau situasi ini, bagaimana DPRD menanggapi situasi ini??, tugas utama DPRD adalah menghasilkan regulasi yang memberikan kenyamanan kepana semua pihak. DPRD Kota perlu menerbitkan sebuah Perda Kota jayapura tentang perlindungan hak ulayat atas tanah adat. dengan adanya perda tersebut masyarakat adat akan memiliki peluang untuk dihargai dan dihormati karena hak ulayat adat tanah adat terlindungi melalui peraturan daerah.


seperti yang saya katakan diatas, bahwa pucuk pimpinan pemerintahan provinsi dan sampai kampung di di pegang oleh anak-anak adat, dan masalah hak ulayat adalah masalah yang hampir terjadi di seluruh kabupaten di tanah Papua, masa.. lembaga eksekutif dan legislatif yang di tunggangi oleh anak-anak adat Papua, tidak dapat merumuskan perda perlindungan terhadap hak ulayat atas tanah adat......sebenarnya apa yang terjadi pada mereka???


Alokasi Dana kampung di Kabupaten jayapura dan beberapa Kabupaten mencontohinya, dana pembangunan kampung di pemerintah kota jayapura, dana RESPEK, dan banyak sekali bantuan danah hibah lainnya tidak dapat membuat orang Papua menjadi tuan diatas tanahnya sendiri. pada kabupaten pemberdayaan seperti kabupaten Jayapura masih memiliki banyak masalah tanah adat. saya perlu beritahukan kepada pemerinth di Papua, bahwa menjadi tuan diatas tanah sendiri ketika potensi SDA milik masyarakat adat memberikan nilai tambah kepada masyarakat adat. misalnya pengelolaan tambang galianC di kampung nendali, harus memberikan Ruang bagi rakyat Nendali ntuk mengelolahnya sendiri , rakyat tidak membutuhkan ADK, Dana pemeberdayaan, atau RESPEK, yang di butuhkan rakyat Papua adalah Ruang dari mengelola Sumberdaya alam mereka. disinilah mereka dapat menjadi mandiri. sangat ironis jika visi kita memandirikan rakyat, tetapi selama hayat di kandung badan  kita mengobyek kan mereka. orang Papua menjadi Objeck selama ada RESPEK, ADK, dan Dana pemberdyaan kampung di atas tanah Papua...Biarkan mereka mandiri karena mengelola SDA miliki Mereka. jangan menipu mereka dengan RESPEK, ADK dan Dana pemberdayaan...sementara SDA alamnya DIKUASAI OLEH PEMERINTAH dan KRONI-KRONINYA.....

hpl.


















Tidak ada komentar: