EKSISTENSI PEREMPUAN ADAT
MAMBERAMO TAMI
DAN KESEJAHTERAAN HIDUP GENERASI MENDATANG.
Ini bukan tempat bagi perempuan untuk berbicara, perempuan seharusnya berada di dapur memasak dan mengurus anak. Kalimat yang sering terlontar dari mulut kaum laki-laki di Suku Sentani Papua terhadap perempuan ketika terjadi rapat adat di para-para adat. Dampratan kata seperti ini terhadap perempuan adat telah menjadi tradisi pada komunitas adat penghuni wilayah Mamberamo Tami . Tempat musyawarah yang di kenal dengan sebutan para-para adat menjadi sakral dan di peruntukan hanya bagi kaum laki-laki. kaum perempuan tidak mendapat kesempatan untuk berbicara , apa lagi memberikan keputusan di para-para adat.
Tetapi peran perempuan dapat di gambarkan sebagai berikut ; Ratusan ribu perempuan di beberapa daerah ;di pulau Jawa, Sumatra dan Sulawesi telah menjadi korban banjir dan longsor sejak Oktober 2007 sampai Februari 2008. Bencana ekologis tersebut merupakan akibat dari penggundulan hutan secara sistematis. Perempuan memiliki beban berat pada saat bencana alam terjadi karena kami memikirkan ketersediaan pangan untuk anak dan keluarga, kesehatan anak dan kesehatan reproduksi perempuan terancam di daerah pengungsian dengan sanitasi yang buruk. Di tengah kondisi ini, pemerintah seolah-olah tanpa beban mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang berlaku di Departemen Kehutanan RI. Tarif sewa antara 120-300 per meter2 per tahun untuk hutan produksi. ( Solidaritas Perempuan Maret 2008 )
Mamberamo – Tami adalah sebutan dari sungai Maberamo dan Sungai Tami, dua sungai menjadi identitas bagi orang asli tanah Papua (Papua Indegenous People) yang berdomisili di kampung-kampung antara dua sungai tersebut, suku-suku asli yang berdomisili antara dua sungai ini di sebut komunitas Suku Tabi. Perempuan Suku Tabi telah menyumbangkan banyak hal untuk tanah Papua, khususnya di lingkungan suku Tabi sendiri ada yang mendapat tanggung jawab sebagai kepala-kepala SKPD baik pada Provinsi, Kabupaten hingga lurah dan Kampung, mereka menghasilkan banyak hal dari kepemimpinan tersebut, tetapi mereka tidak di hargai oleh pemuka-pemuka adat di kampung-kampung mereka,,kenapa???.
Piter Yanuaring Ketua Dewan Persekutuan Masyarakat Adat (DPMA) nambloung di Kabupaten Jayapura periode 2010-2015, yang di temui memberikan komentar sebagai berikut: Secara budaya di akui bahwa perempuan memiliki keterbatasan pada forum-forum adat resmi. Tetapi keterbatasan ini menjadi perhatian beberapa orang di lingkungan kami, lalu memberikan penguatan kepada perempuan, kami mendorong Pembentukan Ikatan Wanita Nimborang (KAWANIM) pada tahun 1977, organisasi tersebut eksis sampai hari ini, dan saya sendiri sebagai penasihat KAWANIM.
Menurut Piter yanuaring, bahwa pada perempuan terdapat banyak hal positif bagi keberadaan SDA dan rakyat kampung yang tidak terdapat pada lelaki, contohnya yang telah menyelesaikan studi pada tahap perguruan tinggi dan mengantongi ijasah sarjana, kesarjanaan ini adalah potensi yang tidak terdapat pada laki-laki, apakah perempuan ini harus di usir dari para-para adat??, ketika pengusiran ini terjadi, maka kita telah mengusir dan menolak pengetahuan dan sumberdaya manusia yang terdapat dalam kepala perempuan tersebut. Eksistensi perempuan menjadi penting ketika perempuan memiliki –kelebihan-kelebihan tertentu, Eksistensi ini perlu di dorong terus, hal ini dapat di akomodir melalui organisasi-organisasi kewanitaan yang di bentuk di tingkat komunitas, distrik dan kampung.
Efraim Yaboisembut, Ketua DPMA Kemtuik Gresi, yang membawahi 18 kampung di Distrik Kemtuik Gresi, bapak bekas kepala kampung ini mengatakan , Perempuan yang akan berada di para-para adat memiliki syarat khusus, yang pertama bahwa ketika telah berada di para-para adat , fungsi dan peran perempuan tidak sebagai peserta pembuat keputusan, tetapi hanyalah sebagai pemberi saran dan masukan, kehadirannya atas undangan dan ketika hendak berbicara harus mendapat ijin dari pimpinan rapat adat.
Lanjut ketua Komdis Partai Golkar ini, Eksistensi perempuan pada forum para-para adat sebatas memberikan saran dan masukan, bukan sebagai pengambil keputusan, secara blak-blakan dia mengatakan bahwa sampai kapanpun perempuan tidak bisa tampil sebagai pengambil keputusan di para-para adat.
Dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. 95% aktifitas pengelolaan dan memanfaatkan sumberdaya alam di kerjakan oleh kaum perempuan. Sumberdaya alam memiliki arti penting bagi Perempuan, karena bila potensi SDA dalam kondisi baik, maka akan membantu perempuan dalam memberikan makan kepada anak-anak dan suaminya, karena bahan makanan tersedia di alam. Tetapi ketika berhadapan dengan para-para adat, tetap saja perempuan tidak mendapat kesempatan untuk sebagai pengambil keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan Sumberdaya alam.
Partisipasi Politik Perempuan.
Berorganisasi berarti menghimpun manusia untuk memikirkan secara mendalam permasalahan mereka bersama, untuk mengetahui isu bersama, serta menentukan kesamaan aksi, serta membentuk kesamaan ideologi (Bhatt.1989:1062). Dominasi peran perempuan dalam kanca inisiatif sosial dan poltik di kampung dapat terjadi hanya dengan perempuan harus mendirikan organisasi khusus perempuan. Organisasi tersebut menjadi organisasi gerakan perempuan, aktifitas nya tidak terbatas pada isu kesenjangan, diskrimnasi, dan kekerasan seksual, tetapi merupakan organisasi gerakan yang dapat mempengaruhi panggung politik di kampung-kampung.
Tanah dan SDA di Wilayah Adat Suku Tabi sebagian besar telah hilang, Masyarakat adat Keerom ( orang asli setempat) saat ini hanya menguasai 35% luas tanah dari luas tanah 923.294 Ha milik mereka yang sebenarnya . Disentani , masyarakat adat Sentani kebingungan karena 3 kampung dalam masa eliminasi, akibatnya manusia akan tercerai berai, dan kampungnya di huni oleh penduduk lain. Habisnya SDA dan raupnya tanah adalah kondisi yang merata pada setiap sudut di wilayah Mamberamo Tami, kenapa semua ini harus terjadi…
Status kaum laki-laki Mamberamo – Tami sebagai pengambil keputusan telah melenceng jauh dari mandat nenek moyang suku sentani. Mandat sebenarnya adalah menjaga dan memelihara rakyat dan roh-roh nenek moyang dengan kekayaan SDA yang ada, Kanyataan faktual saat ini, bahwa dalam kepemimpinan laki-laki dan laki-laki sebagai pengambil keputusan , suku besar Mamta telah hilang banyak SDA dan, tanah dalam luasan cukup besar secara ilegal dan legal telah berpindah menjadi hak milik orang lain . status pengambil keputusan ini telah mengakibatkan marginilisasi Suku besar Mamta dari tanahnya sendiri, anehnya orang Mamta meminggirkan sendiri orang Mamta, Bapak meminggirkan sendiri anaknya, atau sebaliknya perlu di renungkan oleh suku besar Mamta pemingggiran internal seperti ini. Artinya bahwa keberadaan lelaki sebagai pengambil keputusan yang disakralkan selama ini perlu di tinjau atau perlu pengujian kembali, karena seluruh surat pelepasan tanah-tanah adat di wilayah mamberamo Tami dan sentani khususnya di tandatangani dengan bangga secara resmi oleh para Laki-laki.
Menurut penulis, Bahwa keberadaan laki-laki sebagai pengambil keputusan di para-para adat atau dalam internal kleen/marga tidak memberikan jaminan bahwa rakyatnya akan sejahtera. Juga tidak memberikan jaminan bahwa tanah adat tidak terjual, Malah sekarang yang terjadi sebaliknya dimana laki-laki Mamta telah menyengsarakan masyarakatnya sendiri (istri dan anak-anak mereka di buat menderita) karena ruang penghidupan masyarakat telah menjadi sempit, dan telah jauh lahan-lahan berburu. Jika perlu peran laki-laki dalam pengambilan keputusan ditingkat kampung ditiadakan saja jika memungkin segera lakukan pengujian ulang, sebaliknya mari mendorong dan menguatkan perempuan untuk membuat keputusan-keputusan. keberadaan perempuan tidak diakomodir oleh organisasi asli kampung tetapi gerakan sosial perempuan dapat bergejolak melalui organisasi rekayasa sendiri tetapi sah secara hukum.
KAWANIM di Nimbokrang, FoKuPer di Keerom, dan juga kumpulan YOMIYE YOMANGGE di Sentani adalah bentuk-bentuk organisasi perempuan yang dapat di contohi dan di perkuat, Eksistensi dan keberadaan Perempuan Mamta dapat di dorong melalui organisasi-organisasi seperti ini. Hanya perempuan yang dapat menyelamatkan generasi Papua dan SDA Papua untuk waktu yang akan datang. Penulis; Hendrik palo.
DAN KESEJAHTERAAN HIDUP GENERASI MENDATANG.
Ini bukan tempat bagi perempuan untuk berbicara, perempuan seharusnya berada di dapur memasak dan mengurus anak. Kalimat yang sering terlontar dari mulut kaum laki-laki di Suku Sentani Papua terhadap perempuan ketika terjadi rapat adat di para-para adat. Dampratan kata seperti ini terhadap perempuan adat telah menjadi tradisi pada komunitas adat penghuni wilayah Mamberamo Tami . Tempat musyawarah yang di kenal dengan sebutan para-para adat menjadi sakral dan di peruntukan hanya bagi kaum laki-laki. kaum perempuan tidak mendapat kesempatan untuk berbicara , apa lagi memberikan keputusan di para-para adat.
Tetapi peran perempuan dapat di gambarkan sebagai berikut ; Ratusan ribu perempuan di beberapa daerah ;di pulau Jawa, Sumatra dan Sulawesi telah menjadi korban banjir dan longsor sejak Oktober 2007 sampai Februari 2008. Bencana ekologis tersebut merupakan akibat dari penggundulan hutan secara sistematis. Perempuan memiliki beban berat pada saat bencana alam terjadi karena kami memikirkan ketersediaan pangan untuk anak dan keluarga, kesehatan anak dan kesehatan reproduksi perempuan terancam di daerah pengungsian dengan sanitasi yang buruk. Di tengah kondisi ini, pemerintah seolah-olah tanpa beban mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang berlaku di Departemen Kehutanan RI. Tarif sewa antara 120-300 per meter2 per tahun untuk hutan produksi. ( Solidaritas Perempuan Maret 2008 )
Mamberamo – Tami adalah sebutan dari sungai Maberamo dan Sungai Tami, dua sungai menjadi identitas bagi orang asli tanah Papua (Papua Indegenous People) yang berdomisili di kampung-kampung antara dua sungai tersebut, suku-suku asli yang berdomisili antara dua sungai ini di sebut komunitas Suku Tabi. Perempuan Suku Tabi telah menyumbangkan banyak hal untuk tanah Papua, khususnya di lingkungan suku Tabi sendiri ada yang mendapat tanggung jawab sebagai kepala-kepala SKPD baik pada Provinsi, Kabupaten hingga lurah dan Kampung, mereka menghasilkan banyak hal dari kepemimpinan tersebut, tetapi mereka tidak di hargai oleh pemuka-pemuka adat di kampung-kampung mereka,,kenapa???.
Piter Yanuaring Ketua Dewan Persekutuan Masyarakat Adat (DPMA) nambloung di Kabupaten Jayapura periode 2010-2015, yang di temui memberikan komentar sebagai berikut: Secara budaya di akui bahwa perempuan memiliki keterbatasan pada forum-forum adat resmi. Tetapi keterbatasan ini menjadi perhatian beberapa orang di lingkungan kami, lalu memberikan penguatan kepada perempuan, kami mendorong Pembentukan Ikatan Wanita Nimborang (KAWANIM) pada tahun 1977, organisasi tersebut eksis sampai hari ini, dan saya sendiri sebagai penasihat KAWANIM.
Menurut Piter yanuaring, bahwa pada perempuan terdapat banyak hal positif bagi keberadaan SDA dan rakyat kampung yang tidak terdapat pada lelaki, contohnya yang telah menyelesaikan studi pada tahap perguruan tinggi dan mengantongi ijasah sarjana, kesarjanaan ini adalah potensi yang tidak terdapat pada laki-laki, apakah perempuan ini harus di usir dari para-para adat??, ketika pengusiran ini terjadi, maka kita telah mengusir dan menolak pengetahuan dan sumberdaya manusia yang terdapat dalam kepala perempuan tersebut. Eksistensi perempuan menjadi penting ketika perempuan memiliki –kelebihan-kelebihan tertentu, Eksistensi ini perlu di dorong terus, hal ini dapat di akomodir melalui organisasi-organisasi kewanitaan yang di bentuk di tingkat komunitas, distrik dan kampung.
Efraim Yaboisembut, Ketua DPMA Kemtuik Gresi, yang membawahi 18 kampung di Distrik Kemtuik Gresi, bapak bekas kepala kampung ini mengatakan , Perempuan yang akan berada di para-para adat memiliki syarat khusus, yang pertama bahwa ketika telah berada di para-para adat , fungsi dan peran perempuan tidak sebagai peserta pembuat keputusan, tetapi hanyalah sebagai pemberi saran dan masukan, kehadirannya atas undangan dan ketika hendak berbicara harus mendapat ijin dari pimpinan rapat adat.
Lanjut ketua Komdis Partai Golkar ini, Eksistensi perempuan pada forum para-para adat sebatas memberikan saran dan masukan, bukan sebagai pengambil keputusan, secara blak-blakan dia mengatakan bahwa sampai kapanpun perempuan tidak bisa tampil sebagai pengambil keputusan di para-para adat.
Dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. 95% aktifitas pengelolaan dan memanfaatkan sumberdaya alam di kerjakan oleh kaum perempuan. Sumberdaya alam memiliki arti penting bagi Perempuan, karena bila potensi SDA dalam kondisi baik, maka akan membantu perempuan dalam memberikan makan kepada anak-anak dan suaminya, karena bahan makanan tersedia di alam. Tetapi ketika berhadapan dengan para-para adat, tetap saja perempuan tidak mendapat kesempatan untuk sebagai pengambil keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan Sumberdaya alam.
Partisipasi Politik Perempuan.
Berorganisasi berarti menghimpun manusia untuk memikirkan secara mendalam permasalahan mereka bersama, untuk mengetahui isu bersama, serta menentukan kesamaan aksi, serta membentuk kesamaan ideologi (Bhatt.1989:1062). Dominasi peran perempuan dalam kanca inisiatif sosial dan poltik di kampung dapat terjadi hanya dengan perempuan harus mendirikan organisasi khusus perempuan. Organisasi tersebut menjadi organisasi gerakan perempuan, aktifitas nya tidak terbatas pada isu kesenjangan, diskrimnasi, dan kekerasan seksual, tetapi merupakan organisasi gerakan yang dapat mempengaruhi panggung politik di kampung-kampung.
Tanah dan SDA di Wilayah Adat Suku Tabi sebagian besar telah hilang, Masyarakat adat Keerom ( orang asli setempat) saat ini hanya menguasai 35% luas tanah dari luas tanah 923.294 Ha milik mereka yang sebenarnya . Disentani , masyarakat adat Sentani kebingungan karena 3 kampung dalam masa eliminasi, akibatnya manusia akan tercerai berai, dan kampungnya di huni oleh penduduk lain. Habisnya SDA dan raupnya tanah adalah kondisi yang merata pada setiap sudut di wilayah Mamberamo Tami, kenapa semua ini harus terjadi…
Status kaum laki-laki Mamberamo – Tami sebagai pengambil keputusan telah melenceng jauh dari mandat nenek moyang suku sentani. Mandat sebenarnya adalah menjaga dan memelihara rakyat dan roh-roh nenek moyang dengan kekayaan SDA yang ada, Kanyataan faktual saat ini, bahwa dalam kepemimpinan laki-laki dan laki-laki sebagai pengambil keputusan , suku besar Mamta telah hilang banyak SDA dan, tanah dalam luasan cukup besar secara ilegal dan legal telah berpindah menjadi hak milik orang lain . status pengambil keputusan ini telah mengakibatkan marginilisasi Suku besar Mamta dari tanahnya sendiri, anehnya orang Mamta meminggirkan sendiri orang Mamta, Bapak meminggirkan sendiri anaknya, atau sebaliknya perlu di renungkan oleh suku besar Mamta pemingggiran internal seperti ini. Artinya bahwa keberadaan lelaki sebagai pengambil keputusan yang disakralkan selama ini perlu di tinjau atau perlu pengujian kembali, karena seluruh surat pelepasan tanah-tanah adat di wilayah mamberamo Tami dan sentani khususnya di tandatangani dengan bangga secara resmi oleh para Laki-laki.
Menurut penulis, Bahwa keberadaan laki-laki sebagai pengambil keputusan di para-para adat atau dalam internal kleen/marga tidak memberikan jaminan bahwa rakyatnya akan sejahtera. Juga tidak memberikan jaminan bahwa tanah adat tidak terjual, Malah sekarang yang terjadi sebaliknya dimana laki-laki Mamta telah menyengsarakan masyarakatnya sendiri (istri dan anak-anak mereka di buat menderita) karena ruang penghidupan masyarakat telah menjadi sempit, dan telah jauh lahan-lahan berburu. Jika perlu peran laki-laki dalam pengambilan keputusan ditingkat kampung ditiadakan saja jika memungkin segera lakukan pengujian ulang, sebaliknya mari mendorong dan menguatkan perempuan untuk membuat keputusan-keputusan. keberadaan perempuan tidak diakomodir oleh organisasi asli kampung tetapi gerakan sosial perempuan dapat bergejolak melalui organisasi rekayasa sendiri tetapi sah secara hukum.
KAWANIM di Nimbokrang, FoKuPer di Keerom, dan juga kumpulan YOMIYE YOMANGGE di Sentani adalah bentuk-bentuk organisasi perempuan yang dapat di contohi dan di perkuat, Eksistensi dan keberadaan Perempuan Mamta dapat di dorong melalui organisasi-organisasi seperti ini. Hanya perempuan yang dapat menyelamatkan generasi Papua dan SDA Papua untuk waktu yang akan datang. Penulis; Hendrik palo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar